Selasa, 29 Januari 2013

puisiq


Keindahan Tersembunyi

oleh Sitti Supiyati pada 3 November 2010 pukul 19:07 ·
Indah.........
Sungguh.....indah....
Mengayun....bagai d surga........
Membumbung jauh k angkasa

dia.........
benar dia.........
batu hatinya......
buta matanya.......
tuli telinganya.......
tapi indah........

indah...........
betul-betul indah......
hingga alam sulit memaknainya.....
namun ........
semuanya......nampak indah d mataq.......

kelak.........
keindahan itu menjadi  ikatan
kelak.......
keindahan itu abadi.........

semuanya......                   
hanya...untuk hati yang mampu memaknai ....
mampu memaknai .....keindahan itu......



Bahasa Ibu



Oleh:
Sitti Supiyati
7516120282


Disusun Sebagai Tugas Individu
Mata Kuliah Pengembangan Bahasa Dan Sosial Budaya
S2 Program Pascasarjana-Universitas Negeri Jakarta





Dosen Pengampu
Prof. Dr. Soegeng Santoso, M.Pd
Dr. Totok Bintoro, M.Pd


PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2012

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
  Bahasa Indonesia merupakan bahasa ibu dari bangsa Indonesia yang sudah dipakai oleh masyarakat Indonesia sejak dahulu jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia, namun tidak semua orang menggunakan tata cara atau aturan-aturan yang benar, salah satunya pada penggunaan bahasa Indonesia itu sendiri yang tidak sesuai dengan Ejaan maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh karena itu pengetahuan tentang ragam bahasa cukup penting untuk mempelajari bahasa Indonesia secara menyeluruh yang akhirnya bisa diterapkan dan dapat digunakan dengan baik dan benar sehingga identitas kita sebagai bangsa Indonesia tidak akan hilang.
Bahasa Indonesia perlu dipelajari oleh semua lapisan masyrakat. Tidak hanya pelajar dan mahasiswa saja, tetapi semua warga Indonesia wajib mempelajari bahasa Indonesia. Dalam bahasan bahasa Indonesia itu ada yang disebut ragam bahasa. Dimana ragam bahasa merupakan variasi bahasa yang pemakaiannya berbeda-beda. Ada ragam bahasa lisan dan ada ragam bahasa tulisan. Disini yang lebih lebih ditekankan adalah ragam bahasa lisan, karena lebih banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Misalkan ngobrol, puisi, pidato,ceramah.
Namun apa yang penulis lihat di lapangan saat ini, para anak muda jarang ada yang betul – betul masih mengenal bahasa ibu kita dengan baik, entah bahasa nasional maupun bahasa daerah kita masing – masing. Kecenderungan yang terjadi saat ini, kita sering mencampur bahasa ibu dengan bahasa asing atau bahasa gaul/prokem. Misalnya, saat bertemu dengan teman akrab, kita akan berkata, “Hei, apa kabar, Bro?” atau saat melakukan kesalahan, kita akan lebih nyaman berkata, “Sorry” daripada berkata “Maaf”. Bahasa ibu yang beredar di lapangan lebih bermakna sebagai bahasa masa lalu, bahasa emak – emak, bahasa yang lebih dikenal oleh para orang – orang tua kita dan para pendahulunya. Saat seseorang menggunakan bahasa ibu secara utuh, bahasanya akan terkesan resmi dan tidak akrab. Akan lebih santai bila kita mencampurnya sedikit banyak dengan bahasa asing atau bahasa gaul/prokem.
Setiap daerah memiliki ragam bahasa lisan yang berbeda-beda namun pada saat ini banyak masyarak yang melupakan ragam bahasa dari daerahnya sehingga tidak menutup kemungkinan lama kelamaan ragam bahasa ini akan pudar makadari itu penulis ingin membahas tentang bahasa ibu dari daerah Sulawesi Selatan yang merupakan Daerah di Pulau Sulawesi terkhususnya Kota Makassar yang notabene bahasa ibu yang digunakan adalah Bahasa Makassar.
B. Permasalahan
1.    Apakan yang dimaksud Bahasa Ibu?
2.    Pentingkah bahasa ibu tersebut dalam kehidupan Anak Usia Dini?

C. Motivasi Penulisan Paper
Agar setiap Warga Negara tetap menjunjung tinggi Bahasa Ibu yang ada pada daerah masing-masing sehingga tidak terjadi kepunahan keberagaman bahasa yang ada di Indonesia dengan hadirnya berbagai macam bahasa yang dapat mebuat Bahasa Ibu Punah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Defenisi Bahasa Ibu
Orang tua dan lingkungan mempunyai andil besar terhadap pemerolehan bahasa yang akan dipejarinya di lembaga formal. Dijelaskan dalam aliran behavioristik Tolla dalam Indrawati dan Oktarina (2005:24) bahwa proses penguasaan bahasa pertama  dikendalikan dari luar, yaitu oleh rangsangan yang disodorkan melalui lingkungan. Sementara Tarigan dalam Indrawati dan Oktarina (2005:24) mengemukakan bahwa anak mengemban kata dan konsep serta makhluk social. Tarigam memadukan bahwa konsep pemerolehan belajar anak berasala dari konsep kognetif serta perkembangan sosial anak itu sendiri. Adapun perkembangan sosial itu sendiri idak terlepas dari faktor orang-orang yang kehadirannya ada di lingkungan diri anak. Orang-orang yang dimaksud adalah teman, saudara dan yang paling dekat adalah kedua orang tua yaitu ayah serta ibunya. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan oleh kedua orang tua sebagai orang yang pertama kali dekat dengan diri anak ketika menerima bahasa pertama sangat berdampak terhadap anak dalam tahapan pemerolehan bahasa kedua
Pemerolehan bahasa pertama anak adalah bahasa daerah karena bahasa itulah yang diperolehnya pertama kali. Perolehan bahasa pertama terjadi apabila seorang anak yang semula tanpa bahasa kini ia memperoleh bahasa (Tarigan dalam Safarina dan Indrawati, 2006:157). Bahasa daerah merupakan bahasa pertama yang dikenal anak sebagai bahasa pengantar dalam keluarga atau sering disebut sebagai bahasa ibu (B1). Bahasa ibu yang digunakan setiap saat sering kali terbawa ke situasi formal atau resmi yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
KBBI mendefinisikan bahasa ibu sebagai bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya. Berbicara tentang keluarga memang tidak harus ibu tetapi karena ibu dianggap orang yang akan paling dekat dengan seorang anak sejak masa kelahiran, maka istilah ‘ibu’ dipilih dan bukannya ‘ayah’ atau ‘keluarga’, meskipun dalam kenyataannya ada banyak juga anak-anak yang sejak bayi tumbuh dan menjadi besar tidak bersama ibunya. Karenanya memang mungkin lebih masuk akal jika istilah ‘ibu’ di sini tidak hanya dimaknakan sebagai ‘ibu fisik’ tetapi hendaknya juga dimaknakan sebagai ‘ibu lingkungan’, dan yang dimaksud dengan ibu lingkungan tentunya siapa saja di rumah – tempat seorang anak paling banyak menghabiskan waktunya untuk belajar berkomunikasi menggunakan satu bahasa tertentu atau banyak bahasa tertentu yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan seorang anak sejak masa kelahirannya.
Ali (1995:77) mengatakan bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak awal hidupnya melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungan. Hal ini menunjukkan bahasa pertama merupakan suatu proses awal yang diperoleh anak dalam mengenal bunyi dan lambang yang disebut bahasa.
Bahasa ibu, menurut penulis adalah bahasa yang digunakan oleh bangsa kita yaitu bahasa Indonesia. Bahasa ibu juga bisa jadi merupakan bahasa daerah kita berasal misalnya saya sebagai penulis dari makassar maka bahasa ibu dari daerah saya adalah Bahasa Makassar. Bahasa ibu merupakan bahasa yang lebih awal kita kenal, bahasa ini yang membantu kita sehingga bisa jadi seperti sekarang ini. Bahasa ibu merupakan bahasa yang sebagian orang yang mampu memaknainnya sebab bahasa ini berbeda dengan bahasa-bahasa dari satu daera ke daerah yang lain
B.  Pentingnya Bahasa Ibu
            Bukanlah suatu kesalahan bagi kita untuk menggunakan bahasa asing atau bahasa gaul/prokem. Hanya saja menurutku, akan lebih baik bila kita mengenal bahasa kita sendiri dengan baik dulu. Banyak kata dalam bahasa Indonesia yang anak muda saat ini kurang tahu arti pastinya. Misalnya…… Padahal, banyak prosa dan puisi jaman dulu yang menurutku lebih berkesan dan memiliki makna lebih dalam dibandingkan dengan masa kini. Akan tetapi kita juga tidak bisa menyalahkan anak muda masa kini begitu saja. Para orang tua pun menurutku juga ikut andil dalam penurunan daya tarik bahasa ibu, dari segi cara pengenalan sampai cara melestarikannya.
Seringkali pemikiran bahwa bila kita bisa suatu bahasa asing merupakan sesuatu yang dapat dibanggakan dibandingkan bila kita bisa mendalami bahasa kita sendiri membuat bahasa kita sendiri semakin terasing di kalangan bangsanya sendiri. Apa kita tidak malu dengan para orang asing yang sekarang ini seakan berlomba – lomba belajar tentang kebudayaan kita, bahasa kita, sementara kita sendiri yang merupakan para pribumi seakan meninggalkan milik kita sendiri? Para orang asing tersebut mempelajari bahasa kita tanpa meninggalkan bahasa mereka sendiri. Bukankah kita akan lebih kaya bila kita bila mendalami bahasa lain tanpa meninggalkan bahasa kita sendiri?
Bahasa Ibu sebagai sebuah keniscayaan mungkin tidak perlu dipertentangkan, tetapi melihat fenomena arus perubahan yang akhir-akhir ini semakin deras melanda dan melumat semua aspek kehidupan yang pernah diyakini sebagai sesuatu yang mapan dan tidak mungkin berubah juga sebuah keniscayaan, maka paradigma berpikir banyak orang, termasuk para ahli bahasa sudah saatnya untuk ditata dan dikaji ulang. Banyak pihak beranggapan bahwa pendapat yang mengatakan Bahasa Ibu akan punah suatu ketika nanti terlalu ekstrim dan mengada-ada. Bahasa Ibu  tidak akan punah dan tidak akan pernah punah. Berubah pasti, tetapi punah tidak. Edith Lam seorang guru matematika, yang membantu dua peneliti bahasa, Veronica Hsueh and Tara Goldstein, yang mengamati dan merekam bagaimana bahasa ibu dapat membantu siswa menguasai bahasa asing, ternyata memperoleh simpulan yang cukup mengejutkan. Bahasa ibu ternyata tidak hanya membantu para siswa berkomunikasi antar mereka tetapi juga membantu penguasaan bahasa asing lebih cepat.
            Lalu bagaimana dengan perubahan yang pasti terjadi pada keberlangsungan dan kebertahanan bahasa ibu? Seperti kata Price Pritchett bahwa ‘perubahan selalu datang sambil membawa hadiah’, maka perubahan yang pasti datang mungkin tidak perlu terlalu dirisaukan karena toh pasti ada manfaat yang dapat dipetik dari perubahan yang ada!    
Penguasaan sebuah bahasa oleh seorang anak dimulai dengan perolehan bahasa pertama yang sering kali disebut bahasa ibu. Pemerolehan bahasa merupakan sebuah proses yang sangat panjang sejak anak belum mengenal sebuah bahasa sampai fasih berbahasa. Setelah bahasa ibu diperoleh maka pada usia tertentu anak lain atau bahasa kedua yang ia kenalnya sebagai khazanah pengetahuan yang baru.
Apabila dalam proses awal menunjukkan pemahaman dan penghasilan yang baik dari keluarga dan lingkungan bahasa yang diperolehnya, proses pemerolehan bahasa selanjutnya akan mendapatkan kemudahan. Tahapan-tahapan berbahasa ini memberikan pengaruh yang besar dalam proses pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa adalah proses pemahaman dan penghasilan (produksi) bahasa pada diri anak melalui beberapa tahap mulai dari meraban sampai fasih berbicara (Indrawati dan Oktarina, 2005:21).
Bahasa kedua akan dikuasai secara fasih apabila bahasa pertama yang diperoleh sebelumnya sangat erat hubungannya (khususnya bahasa lisan) dengan bahasa kedua tersebut. Hal itu memerlukan proses, dan kesempatan yang banyak. Kefasihan seorang anak untuk menggunakan dua bahasa sangat tergantung adanya kesempatan untuk menggunakan kedua bahasa itu. Jika kesempatan banyak maka kefasihan berbahasanya semakin baik (Chaer, 1994:66).
Pemerolehan bahasa pertama atau Bahasa Ibu sudah barang tentu mempunyai dampak terhadapi anak untuk mendapatkan bahasa kedua  yaitu bahasa Indonesia yang baik dan benar. Apa saja dampak yang kemungkinan muncul akan penulis paparkan dalam tulisan ini.
a)    Beragam Bahasa Pertama
Bangsa Indonesia memiliki banyak suku, budaya, dan bahasa dengan ragam dialek yang berbeda-beda. Oleh karena itu, wajarlah bila di suatu sekolah atau Taman Kanak-kanak  terdapat berbagai bahasa ibu mengingat siswa berasal dari berbagai latar belakang dan suku bahkan bahasa daerah yang beragam pula. Bahasa daerah sebagai bahasa pertama dikenal anak sangat berpengaruh terhadap pemerolehan bahasa Indonesia yang akan diperoleh anak di sekolahnya.
Adanya berbagai macam dan ragam bahasa menimbulkan masalah, bagaimana kita menggunakan bahasa itu di dalam masyarakat (Chaer, 1994:63). Dialek atau pelafalan bahasa daerah dan ragam bahasa dalam tatanannya sebagai bahasa lisan memiliki dampak terhadap pelafalan bahasa Indonesia yang baik dan benar meskipun dari segi makna masih dapat diterima. Pelafalan yang nyata sering terdengar dalam tuturan resmi berasal dari berbagai dialek bahasa di nusantara yaitu Jawa, Batak, Sunda, Bali, Minangkabau. Dialek-dialek tersebut akan lebih baik bila sekecil mungkin dihilangkan apalagi bila dialek itu diselingi dengan bahasa daerah dari bahasa ibu petuturnya sehingga tidak menimbulkan permasalahan khususnya salah penafsiran bahasa karena terdapat bahasa daerah yang mempunyai ucapan atau pelafalan sama namun memiliki makna yang berbeda. Contoh:
·         suwek dalam bahasa Sekayu (Sumsel) bermakna tidak ada
·         suwek dalam bahasa Jawa bermakna sobek
·         kenek dalam bahasa Batak bermakna kernet (pembantu sopir)
·         kenek dalam bahasa Jawa bermakna kena
·         abang dalam bahasa Batak dan Jakarta bermakna kakak
·         abang dalam bahasa Jawa bermakna merah
Melalui beberapa contoh itu ternyata penggunaan bahasa daerah memiliki tafsiran yang berbeda dengan bahasa lain. Jika hal tersebut digunakan dalam situasi formal seperti seminar, lokakarya, simposium, proses belajar mengajar yang pesertanya beragam daerahnya akan memiliki tafsiran makna yang beragam. Arifin dan Hadi (1989:11) menegaskan bahwa pelafalan dan penggunaa bahasa daerah seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, dan Batak dalam berbahasa Indonesia pada situasi resmi atau formal sebaiknya dikurangi. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa daerah yang sering digunakan sebagai bahasa ibu mempunyai dampak dalam perolehan bahasa siswa secara resmi atau formal berupa bahasa Indonesia yang baik dan benar.
b)    Dampak Pemerolehan Bahasa Ibu
Keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan dan pengaruh terhadap bahasa yang akan diperoleh anak pada tahapan berikutnya. Sebagai contoh seorang anak yang orang tuanya berasal dari daerah Melayu dengan lingkungan orang Melayu dan selalu menggunakan bahasa Melayu sebagai alat komunikasi sehari-hari, maka anak itu akan mudah menerima kehadiran bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua di sekolahnya. Tuturan bahasa pertama yang diperoleh dalam keluarga dan lingkungannya sangat mendukung terhadap proses pembelajaran bahasa kedua yaitu bahasa Indonesia. Hal ini sangat dimungkinkan selain faktor kebiasaan juga bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Lain halnya jika kedua orang tuanya berasal dari daerah Jawa dengan lingkungan orang Jawa tentu dalam komunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Jawa akan mengalami kesulitan untuk menerima bahasa kedua yaitu bahasa Indonesia yang dirasakan asing dan jarang didengarnya.
Selain dua situasi di atas juga berbeda dengan pasangan orang tua yang berasal dari daerah yang berbeda dengan bahasa yang berbeda pula dan lingkungan yang berbeda dengan kedua bahasa orang tuanya maka anak akan memperolah bahasa yang beraneka ragam ketika bahasa Indonesia diperolehnya di sekolah akan menjadi masukan baru yang berbeda pula.
Bagi anak, orang tua merupakan tokoh identifikasi. Oleh sebab itut, idaklah mengherankan jika mereka meniru hal-hal yang dilakukan orang tua (Fachrozi dan Diem, 2005:147). Anak serta merta akan meniru apa pun yang ia tangkap di keluarga dan lingkungannya sebagai bahan pengetahuannya yang baru terlepas apa yang didapatkannya itu baik atau tidak baik. Citraan orang tua menjadi dasar pemahaman baru yang diperolehnya sebagai khazanah pengetahuannya artinya apa saja yang dilakukan orang tuanya dianggap baik menurutnya. Apapun bahasa yang diperoleh anak dari orang tua dan lingkungannya tersimpan di benaknya sebagai konsep perolehan bahasa anak itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan orang tua dalam berbahasa di dalam keluarga (bahasa ibu) sangat dicermati anak untuk ditirukan. Anak bersifat meniru dari semua konsep yang ada di lingkungannya. Brown dalam Indrawati dan Oktarina (2005:24) mengemukakan bahwa posisi ekstern behavioristik adalah anak lahir ke dunia seperti kertas putih, bersih. Pernyataan itu memberikanan penjelasan nyata bahwa lingkungan dalam hal ini keluarga terutama orang tua dalam pemberian bahasa yang kurang baik khususnya tuturan lisan kepada anak akan menjadi dampak negatif yang akan disambut oleh anak sebagai pemerolehan bahasa pertama yang menjadi modal awal bagi seoarang anak untuk menyongsong kehadiran pemerolehan bahasa kedua.
Perolehan bahasa kedua (bahasa Indonesia)) merupakan sebuah kebutuhan bagi anak ketika sedang mengikuti pendidikan di lembaga formal. Pada lembaga formal guru mempunyai pengaruh yang sangat siknifikan sebagai pendidik sekaligus pengajar di sekolah. Guru dengan konsep dapat digugu dan ditiru oleh anak akan menjadi figure sosok seseorang pengganti orangtua yan, oleh karena itu sosok seorang guru dalam kehadirannya di sekolah sebagai rumah kedua bagi anakmempunyai peranan penting dalam memberikan tuturan bahasa sebagai contoh bahasa kedua (B2). Penyesuaian antara bahasa ibu (B1) dengan bahasa kedua (B2 (bahasa Indonesia) yang dituturkan oleh guru membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, pada kelas rendah (kelas 1—3 SD) masih menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan.
Peranan Guru (kelas bawah) dan orang tua dalam berbahasa ditunjang oleh faktor lingkungan sangat memberikan dampak yang sangat besar dalam proses pemerolehan bahasa pertama. Pemberian figur berbahasa yang baik oleh orang tua yang baik diperkuat dengan guru sebagai contoh berbahasa yang baik dan benar di sekolah, maka anak akan mempunyai bekal dalam mempelajari pemerolehan bahasa kedua  yaitu bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Saya merupakan anak yang lahir dari rahim seorang ibu yg bersuku Makassar jadi bahasa ibu yang saya dapatkan adalah bahasa Makassar. Bahasa Makasar, juga disebut sebagai bahasa Makassar atau Mangkasara' adalah bahasa yang dituturkan oleh suku Makassar, penduduk Sulawesi Selatan, Indonesia.
Bahasa ini dimasukkan ke dalam suatu rumpun bahasa Makassar yang sendirinya merupakan bagian dari rumpun bahasa Sulawesi Selatan dalam cabang Melayu - Polinesiadari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa ini mempunyai abjadnya sendiri, yang disebut Lontara, namun sekarang banyak juga ditulis dengan menggunakan huruf Latin.
Huruf Lontara berasal dari huruf Brahmi kuno dari India. Seperti banyak turunan dari huruf ini, masing-masing konsonan mengandung huruf hidup "a" yang tidak ditandai. Huruf-huruf hidup lainnya diberikan tanda baca di atas, di bawah, atau di sebelah kiri atau kanan dari setiap konsonan.
Sejak kecil bahkan sejak dalam kandungan ibu saya sering mempergunakan bahasa Makassar sebab di daerah saya masih banyak warga yang kurang memahami bahasa indonesia sehingga bahasa makassar merupakan bahasa yg tepat dalam berkomunikasi pada saat itu.
Meski bahasa melayu/indonesia dialek makassar dipakai dalam percakapan sehari-hari di makassar, tetapi saya harus menjelaskan sedikit partikel-partikel tertentu, dengan unsur-unsur bahasa makassar yang diserap dan dicakapkan secara tepat.
Dii’
Dipakai untuk meminta dukungan atau penegasan (seperti ‘kan’
“iyo dii? Atau ‘iye’ dii’?”
Toh /ko
Juga dipakai untuk memita dukungan atau penegasan (seperti ‘kan’)
“sudah sampai toh?”
Kii’
Dipakai untuk meminta dukungan atau penegasan (seperti ‘kan’)
“ngapa kii” ?” (atau “kenapaki”)
Mii’
Memastikan sesuatu
“sudah mii” atau “cepat mii”
Ta’
Kependekan ‘kita’ tetapi dipakai untuk menyatakan secara halus sesuatu merupakan milik bersama
Guru ta’(ustadz kita); tv ta’ (TV kita semua)
Tauwwa
Partikel penegas (seperti ‘ya kan?)
Di makassar tauwwa?







BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak awal hidupnya melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungan. Hal ini menunjukkan bahasa pertama merupakan suatu proses awal yang diperoleh anak dalam mengenal bunyi dan lambang yang disebut bahasa.
B. Saran
            Sebaiknya warga indonesia yang memiliki keragaman bahasa tidak melupakan bahasa ibu dari daerah masing-masing, sebab bahasa ibu memiliki banyak peranan dalam perkembangan seorang anak.







Daftar Pustaka


Crystal, D. 2000. Language Death. Cambridge : Cambridge University Press.

Dittmar, Norbert. 2001. Sociolinguistics: A Critical Survey of Theory and Application.London: Edward Arnold Publisher

Fishman, J. A. 1991. Reversing language Shift: Theory and Practice of Assistance to Threatened Languages. Clevedon : Multilingual Matters.

Fishman, J. A. (ed.) 2000. Can Threatened Languages Be Saved? Reversing Language Shift, Revisited: A 21st Century Perspective. Clevedon : Multilingual Matters.

Grenoble, L. A. and Whaley, L. J. 1998. Endangered Languages: Language Loss and Community Response. Cambridge University Press.

Modrak, Deborah K.W. 2001. Aristotle: Theory of Language and Meaning. Cambridge: Cambridge University Press
Nettle, D. and Romaine, S. 2000. Vanishing Voices. Oxford University Press.

Reyhner, J. (ed.) 1999. Revitalizing Indigenous Languages. Flagstaff, AZ : Northern Arizona University, Center for Excellence in Education.

Verdoodt, Albert F. 1997. ‘The Demography of Language’ in Florian Coulmas (Ed.) The Handbook of Socilinguistics. Oxford: Blackwell Publishers, Inc.

Wales, Katie. 2001. A Dictionary of Stylistics. Harlow: Pearson Education
Arifin, E. Zaenal dan Farid Hadi. 1991. 1001 Kesalahan Berbahasa. Jakarta:CV Akademika Pressindo.
Badudu, J.S. 1985. Pelik-pelik Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Prima.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Effendi,S. 1994. Panduan Berbahasa Indonesia dengan Baik dan Benar. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya
Fachrozi, Irwan dan Diem, C.D. 2005. “Hubungan Antara Peranan Orangtua, Keterlaksanaan Bahan Bacaan di Perpustakaan Sekolah, dan Minat Baca Siswa SLTP Negeri di Kecamatan Banyuasin III Kabupaten Banyuasin.”Lingua, 6(2): 147.
Indrawati, Sri dan Santi Oktarina. 2005. “Pemerolehan Bahasa Anak TK: Sebuah Kajian Fungsi Bahasa.” Lingua, 7 (1): 21.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Safarina, D. Sopah, dan Indrawati, S. 2006. ”Analisis Kesalahan Berbahasa Ragam Tulis Siswa Madrasah Ibtidaiyah Negeri I Palembang.” Lingua, 7 (2): 157.
http://www.rappang.com/2010/02/bahasa-kota-makassar-hal-yang-beda-di.html


Rabu, 23 Januari 2013

puisiQ


Desa Barakkae/ Kecamatan Lamuru/ Kabupaten Bone/ Provinsi Sulawesi Selatan merupakan tempat penulis melakukan KKN (kuliah kerja nyata) di mana penulis mengambil program PBA (pemberantasan buta aksara). Daerah ini merupakan salah satu daerah terpencil di kabupaten Bone Sulawesi Selatan yang ditempuh selama 3 jam dari kota Bone dimana di desa ini jangankan anak-anak, remaja, dan orang dewasa bahkan lansia belum mampu untuk membaca dan berbicara menggunakan Bahasa indonesia, bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Bugis namun Bahasa bugis yang mereka Gunakan yaitu Bahasa Bugis tempo dulu yang perucapannya memiliki banyak perbedaan dengan bahasa bugis zaman sekarang.
Anak-anak di desa ini sebagian besar bahkan semuanya tidak memiliki akta kelahiran. Di desa inipun taman kanak-kanak atau PAUD sejenis blum ada bahkan SD pun masih dalam proses pembangunan sehingga dari segi pendidikan di desa ini sangat-sangat kurang. Mata pencaharian dari masyarakat desa ini adalah bertani dan berkebun.sehingga seharian waktu mereka habis di kebun atau di sawah mereka dan tidak jarang penulis temukan pada saat pasar yang beroperasi 2 kali dalam seminggu mereka menukar hasil kebun meraka dengan makanan yang meraka inginkan walaupun ada juga yang membelinya pake uang. Fisik warga desa ini sangatlah kuat sebab akses dari desa k pasar tradisional tersebut di tempuh selama 1 jam dan mereka melaluinya dengan berjalan kaki.
Di bawah ini ada foto-foto warga desa Barakkae yang sedang membuat jalan guna menyambungkan antara gunung yang satu dengan gunung yang lain.






Di samping  Ini merupakan foto dimana baik anak-anak,remaja maupun orang tua bahkan lansia ikut mebuat jalan antara gunung yang satu dengan gunung yang lain.


Di samping  ini  merupakan salah satu foto miris yang dimana jangankan anak-anak orang tuapun tidak mampu untuk mmbaca dan menulis bahkan berbahasa indonesiapun mereka tidak paham. Ini adalah foto penulis beserta kawan-kawan yang memberikan pembelajaran membaca dan menulis mulai dari huruf A sama dengan mengajarkan anak usia dini. Terkadang kami mendapatkan orang tua yang berbahasa Malaysia dan penulispun bertanya kepada orang tua tersebut tentang bahasa yang diperoleh berasal dari mana dan ternyata budaya bahasa malaysia yang mereka dapatkan dari anak mereka yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia(TKI), dan Tenaga Kerja Wanita(TKW) ke Malaysia.
Di Desa ini unsur mistiknya pun masi kuat terkhusus ketika anak-anak dari warga desa ini dalam keadaan Sakit atau kurang enak badan. Mereka tidak Membawanya ke rumah sakit pertama karena rumah sakit atau puskesmas sejenis jaraknya sangat jauh kedua warga dari desa ini kurang percaya dengan pengobatan medis, biasanya mereka membawa anak mereka ke dukun atau orang yang mereka percayakan untuk mendapatkan ramuan atau jampi-jampi.
Keadaan fisik anak-anak di desa ini tergolong kuat sebab mereka sejak kecil dibimbing untuk membantu orang tuanya di sawah, kebun bahkan menjagakan ternak mereka(sapi, ayam ,bebek,kambing dll).
Anak-anak di desa ini mayoritas beragama islam mereka mengikuti orang tua mereka, sejak dini anak-anak dibimbing untuk menghafal surah-surah pendek dan tidak jarang kami dapati anak yang masih tergolong usia dini sudah mampu malafalkan ayat Al-Quran dengan Merdu.
Anak-anak yang berada di desa ini selama pengamatan penulis 4 bulan memiliki nilai-nilai moral dan lesopanan yang tinggi, sebab mereka telah diajarkan oleh orang tuanya untuk menghormati orang yang lebih tua dibanding mereka terkhususnya anak gadis, mereka tidak berani berada di depan ketika ada tamu, mereka hanya berada di dapur rumah mereka.