Jumat, 22 Februari 2013

STUNTING


Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik  yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas.  Sebagai generasi penerus bangsa, anak diharapkan menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas. Untuk mewujudkannya, di samping dibutuhkan pendidikan yang baik, faktor gizi pun penting untuk diperhatikan. Masa balita merupakan salah satu masa penting untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Masa ini merupakan salah satu masa yang paling penting untuk meletakan dasar-dasar kesehatan dan intelektual anak untuk kehidupan yang akan datang. Menurut Syarief (1997), tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak, merupakan periode  yang sangat menentukan masa depannya. Kekurangan gizi pada periode ini dapat mengakibatkan terganggunya perkembangan mental dan kemampuan motorik anak. Gangguan tersebut sulit diperbaiki hingga periode berikutnya. Berdasarkan hal tersebut, masalah gizi anak perlu mendapatkan perhatian.  Namun pada kenyataannya, masih terdapat masalah yang berhubungan dengan keadaan gizi pada masa balita.  Menurut  Depkes (2008) yang diperoleh melalui penelitian Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007  di Indonesia terdapat 13%  anak balita dengan status gizi kurang bahkan terdapat 5,4 % anak balita berstatus gizi buruk dan  4,3 % anak mempunyai status gizi lebih. Sebesar 7,4% anak mempunyai status gizi kurus bahkan 6,2% anak sangat kurus dan 12,2% anak gemuk.  Keadaan gizi lain yang dapat ditemukan pada anak  adalah pendek (stunting).  Jumlah anak  stunting sebesar 36,8% atau berjumlah 9,3 juta anak. Jumlah ini jauh lebih besar daripada jumlah anak yang berstatus gizi kurang dan berstatus gizi kurus. Di Indonesia, seperti negara berkembang lainnya masalah gizi pada balita adalah wasting, anemia, berat badan lahir rendah dan stunting. Prevalensi stunting tertinggi terjadi pada anak saat anak berusia 24 – 59 bulan (Ramli et al. 2009). Stunting mengindikasikan masalah kesehatan masyarakat karena berhubungan dengan meningkatknya risiko morbiditas dan mortalitas, terhambatnya perkembangan dan fungsi motorik dan mental serta mengurangi kapasitas fisik.  Anak dengan keadaan stunting tidak mengalami potensi pertumbuhan secara maksimal dan dapat menjadi remaja dan dewasa yang stunting (Ricci & Becker 1996).  Dampaknya pada masa dewasa diantaranya adalah terbatasnya kapasitas kerja karena terjadi pengurangan aktivitas tubuh dan pada wanita dapat menyebabkan terjadinya risiko komplikasi kandungan karena memiliki ukuran panggul yang kecil serta berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (Shrimpton 2006). Sementara Nurmiati (2006) yang melakukan penelitian tentang pertumbuhan dan perkembangan pada anak balita yang mengalami stunting menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kelompok anak normal lebih baik daripada kelompok anak stunting  Pada keadaan stunting, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah balitapendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Karena masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang sifatnya kronis (Depkes 2009).Penilaian status gizi pada anak dapat dilakukan dengan metode antropometri. Dengan menggunakan indeks antropometri, di samping mudah penggunaannya biaya operasionalnya pun lebih murah dibandingkan dengan cara lengkap yang menggunakan pemeriksaan laboratorium dan klinis (Jahari1988).  Menurut Faber & Benade (1998) antropometri mudah diterima, tidak mahal, cepat dan merupakan  indikator kesehatan yang objektif.  Terdapat beberapa indeks antropometri yang umum dikenal yaitu berat badan menurut umur (BB/U), panjang badan atau tinggi badan menurut umur (PB/U atau TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).  Status gizi balita tidak hanya dipengaruhi oleh konsumsi pangan danpenyakit infeksi saja yang disebut dengan determinan langsung. Faktor lainnya adalah lingkungan rumah atau disebut dengan determinan tidak langsung terdiri dari ketahanan pangan, pola pengasuhan, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Keempat hal tersebut berkaitan dengan pendidikan, keterampilan, dan pengasuhan (UNICEF 1990).  Menurut Kilimbira et al. (2006), faktor yang menyebabkan terjadinya kekurangan gizi pada anak adalah kurangnya akses untuk mendapatkan pangan, pola asuh yang tidak tepat, sanitasi yang buruk dan kurangnya pelayanan kesehatan.  Banyak anak yang berasal dari keluarga miskin di negara berkembang yang mengalami stunting sejak bayi dikarenakan penyakit infeksi dan kurangnya asupan makanan yang bergizi (Faber & Benade  1998).  Penelitian di Sudan melaporkan melaporkan konsumsi zat gizi, jenis kelamin, status pemberian ASI dan status sosial ekonomi merupakan fakor yang berkorelasi positif dengan kejadian stunting pada anak usia 6-72 bulan (Sedgh et al. 2000). Menurut Ramli et al. (2009) yang melakukan penelitian tentang faktor risiko stunting di Maluku menyatakan bahwa faktor risiko  stunting pada anak  adalah usia anak, jenis kelamin dan rendahnya status sosial ekonomi. Sementara  menurut Schmidt et al(2002) berat badan dan tinggi badan bayi lahir adalah faktor yang paling mempengaruhi tinggi badan bayi hingga berusia 15 bulan. Anak adalah generasi penerus bangsa. Untuk mewujudkan bangsa besar, keadaan gizi anak perlu diperhatikan. Sejak lahir hingga berusia  lima tahun merupakan periode yang penting dalam pertumbuhan anak, karena masa tersebut adalah masa yang rentan dan akan menentukan masa depannya.

Rabu, 20 Februari 2013

MATEMATIKA TINJAUAN DALAM FILSAFAT ILMU DAN PERANANNYA PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Usia dini amat menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Sebab,  pada usia dini stimulus yang di dapatkan akan mudah untuk di terima sehingga apapun konsep yang di tanamkan pada anak akan mudah untuk di pahami selama konsep tersebut memiliki makna yang indah. Terlebih lagi dikaitkan dengan matematika, sebab dalam anak usia dini dalam kehidupannya sering melakukan kegiatan yang  berkaita dengan matematika tanpa mereka ketahui, namun lingkungan yang sangat mempengaruhi akan di bawa kemana anak tersebut disamping bakat yang ada pada dirinya.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas penulis merumuskan masalah yang akan di bahas dalam makalah ini dengan menggunakan pertanyaan sebagai berikut:
1. Defenisi matematika?
2. Ruang lingkup matematika?
3. Peranan matematika dalam Pendidikan Anak Usia Dini?


C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui defenisi matematika
2. Untuk mengetahui aspek yang berhubungan dengan matematika.
3. Untuk Peranan matematika dalam Pendidikan Anak Usia Dini


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Matematika
James (1976) dalam kamus matematikanya mengatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi kedalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, matematika itu timbal karena pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran yang terbagi menjadi empat wawasan yang lauas yaitu aritmetika, aljabar, geometri, dan analisis dengan aritmetika mencakup teori bilangan dan statistika.
Matematika adalah alat yang dapat membantu memecahkan berbagai macam permasalahan (dalam pemerintahan, industri, sains). Matematika merupakan salah satu sarana berfikir ilmiah yang sifatnya deduktif.
B. Matematika Sebagai bahasa
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin disampaikan. Lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya.
Contohnya, dengan bahasa verbal kita dapat membandingkan dua objek yang berbeda Umpamanya gajah dan semut, maka hanya bisa mengatakan gajah lebih besar dibandingkan dengan semut, tanpa dapat menjelaskan dengan rinci bagaimana hubungan secara eksak, sehingga bahasa verbal tidak dapat banyak menjelaskan apa yang perlu diketahui dari perbandingan antara gajah dengan semut tersebut. Bahasa matematika memiliki makna yang tunggal sehingga satu kalimat matematikatidak dapat ditafsirkan bermacam-macam.
C. Sifat Kuantitatif dari Matematika
Bahasa verbal yang digunakan dalam keseharian hanya mampu digunakan untuk pembanding sederhana. Matematika juga mengembangkan konsep pengukuran, lewat pengukuran dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang. Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif, kita mengetahui bahwa sebatang logam bila dipanaskan akan memanjang, tetapi tidak bisa mengatakan berapa besar pertambahan logam.
Untuk itu, matematika mengembangan konsep pengukuran, lewat pengukuran maka dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang sebatang logamdan berapa pertambahannya bila dipanaskan. Dengan mengetahui hal ini maka penyataan ilmiah yang berupa penyataan kuantitatif seperti sebatang logam jika dipanaskan akan memanjang dapat diganti dengan pernyataan matematika yang lebih eksakumpamanya:
P1= P0 (1+n)
P1=panjang logam pada temperatur t
P0=panjang logam pada temperatur nol
n=koefesiansi pemuai logam tersebut


D. Matematika sebagai sarana berfikir Deduktif
Matematika dikenal dengan ilmu deduktif. Ini berarti proses pengerjaan matematika harus bersifat deduktif. Matematika tidak menerima generalisasiberdasarkan pengamatan (induktif), tetapi haris berdasarkan pembuktian deduktif. Meskipun demikian untuk membantu pemikiran pada tahap-tahap permulaan seringkali kita memerlukan contoh-contoh khusus atau ilustrasi geometris.
Berfikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan pada premis-premis yang kebenaranya telah ditentukan.
E. Hubungan Matematika dan Filsafat
Hubungan matematika dan filsafat cukup erat dibandingkan dengan ilmu lainnya, alasannya filsafat merupakan pangkal untuk mempelajari ilmu dan matematika adalah ibu dari segala ilmu.
Matematika sebagai ratu atau ibunya ilmu dimaksudkan bahwa matematika adalah sebagai sumber dari ilmu yang lain dan pada perkembangannya tidak tergantung pada ilmu lain. Dengan kata lain, banyak ilmu-ilmu yang penemuan dan pengembangannya bergantung dari matematika. Sebagai contoh banyak teori-teori dan cabang-cabang dari fisika dan kimia yang dtemukan dan dikembangkan melalui kosep kalkulus. Teori Mendel pada biologi melalui konsep pada probabilitas. Teori ekonomi melalui konsep fungsi dan sebagainya.
Dari kedudukan matematika sebagai ratu ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan matematika selain tumbuh dan berkembang untuk dirina sendiri juga untuk melayani kebutuhan ilmu pengetahuan lainnya dalam pengembanagan dan operasinya.
F. Peranan Matematika Dalam Pendidikan Anak Usia Dini
Gardner (Brawer, 2006) berpendapat bahwa setiap anak memiliki kecerdasan majemuk (multiple intelligences)yang harus dikembangkan, dan satu d antara kecerdasan yang disebut adalah kecedasan logika-matematika. Kecerdasan ini terjermin dalam ketajaman setiap anak melihat pola dan melakukan pendekatan terhadap situasi secara logis. Anak –anak yang kuat dalam kecerdasan ini memiliki kemampuan menghitung yang sangat baik.
Pembelajaran matematika bersifat hierarkis, dengan demikian kegiatan pengembangan kemampuan metematika permulaan di PAUD juga perlu dilakukan secara bertahap. Lorton juga menunjukkan pentingnya konsep matematika ini mulai diperkenalkan pada anak usia 4-5 tahun. Pengembangan ini yang biasa disebut stimulasi permulaan matematika di PAUD, Lorton mendasarkan pada teori Piaget yang menunjukkan bagaimana konsep matematika yang terbentuk pada anak.
1. Tingkat pemahaman konsep
Anak akan memahami konsep melalui pengalaman beraktivitas/bermain dengan benar-benar kongkrit.
2. Tingkat transisi
Proses berfikir yang merupakan masa peralihan dari pemahaman konkrit menuju pengenalan lambang yang abstrak, dimana konkri itu masi ada dan mulai dikenalkan bentuk lambangnya. Hal ini harus dilakukan guru secara bertahapsesuai dengan lajudan kecepatan kemampuan anak yang secara individual beda.
3. Tingkat lambang bilangan
Tahap terakhir dimana anak diberi kesempatan untuk mengenal dan memvisualisasikan lambang bilangan atau konsep kongkrit yang telah mereka pahami. Ada saat dimana mereka masih menggunakan alat kongkrit hingga mereka melepaskannya sendiri.
Media yang bervariasi sangat mempengaruhi kreativitas dan kecepatan pemahaman anak terhadap konsep matematika sebab ana kurang mampu mencerna hal-hal yang abstrak. Hal yang paling pokok dalam berhitung di PAUD adalah dengan bermain yang merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa menggunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan, tanpa ada paksaan ataupun tekanan dari luar, serta mampu mengembangkan berbagai potensi anak. Yang terpenting adalah anak tetap bisa menikmati kegiatan atau merasakan kesenangan, namun guru perle memperhatikan titik jenuh anak saat bermain, karena hampir semua anak yang dilalui ditentukan oleh guru atau bukan kebebasan dari anak.








Daftar Pustaka
Brewer, Jo Ann, 2006, Early Chilhood Education, Pearson Education
Jujun . 2009. Filsafat Ilmu sebuah pengantar Populer :Pustaka Sinar Harapan. Hal 189
Rahmita.  Dkk. 2012. Filsafat Ilmu Dan Implementasinya Dalam Anak Usia Dini:  28 JayaPrinting Publisher. Hal 62
http://lela68.wordpress.com/2009/05/28/filsafat-ilmuilmu-dan-matematika/ (diakses tanggal 18 Oktober 2012)


KURIKULUM PERKEMBANGAN KOGNITIF


                                

Perkembangan kognitif anak melibatkan proses pertumbuhan dari cara berfikir dan berinteraksi dengan lingkungannya. Biasanya anak-anak belajar mengenal dunia melalui eksplorasi aktifitas fisik, dan secara bertahap berkembang menjadi kemampuan untuk berfikir secara simbolik dan logis tentang pengalamannya.

A. Tonggak Perkembangan dalam Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif ini juga melibatkan pembelajaran konsep-konsep baru dan mencoba berbagai bentuk pemikiran. Untuk memfasilitasi perkembangan ini, maka sangat penting untuk mengulas tentang pijakan perkembangan kognitif dan tindakan seorang guru untuk membantu perkembangan berfikir dan kemampuan logis serta mengatasi masalah.
Teori -Teori Perkembangan Kognitif :
a) Teori Piaget
Dalam teorinya ia menjelaskan rentangan perkembangan aktifitas kognitif:
1. Sensomotorik (usia lahir  - 24 bulan) 
Tahapan ini dibagi lagi menjadi 6 tahap, pada tahap ini bayi belajar pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek.
Tahapan ini dibagi menjadi 5 sub tahapan perkembangan
a. Sub-tahapan skema refleks
b. Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer
c. Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder
d. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder
e. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier
f. Sub-tahapan awal representasi simbolik.

2. Periode Praoperasional (usia 2–7 tahun)
Fase ini merupakan permulaan anak untuk membangun kemampuannya dalam menyusun pikirannya. Oleh sebab itu, cara berpikir anak belum stabil dan belum terorganisir secara baik. Fase ini dibagi menjadi 3 sub fase berpikir:
Berpikir secara simbolik (usia 2 – 4 tahun)
Berpikir secara egosentris (usia 2 – 4 tahun)
Berpikir secara intuitif (usia 4 – 7 tahun)

3. Periode Operasional Konkret (usia 7 – 12 tahun)
Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai dua belas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
a. Pengurutan
b. Klasifikasi
c. Decentering
d. Reversibility
e. Konservasi
f. Penghilangan sifat Egosentrisme

4. Tahap Operasional Formal (usia 12 – dewasa)
Tahap Operasional Formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.

b) Teori Vygotsky
  Belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik.
Empat prinsip dalam penerapan Teori Vygotsky
1. Belajar dan berkembang adalah aktifitas sosial dan kolaboratif
2. ZPD dapat menjadi pemandu dalam menyusun kurikulum
3. Pembelajaran disekolah harus dalam konteks yang bermakna, tidak boleh dipisahkan dari pengetahuan anak yang dibangun dalam dunia nyata.
4. Pengalaman anak diluar sekolah harus dihubungkan dengan pengalaman mereka disekolah.

c) Teori Gardner
Enam aspek kecerdasan manusia, yaitu;
1. Kecerdasan Linguistik
Kecerdasan linguistik adalah kecerdasan dalam mengolah kata, atau kemampuan menggunakan kata secara efektif baik secara lisan maupun tertulis.
2. Kecerdasan Visual Spasial
Visual spasial merupakan salah satu bagian dari kecerdasan jamak yang berhubungan erat dengan kemampuan untuk memvisualisasikan gambar didalam pikiran seseorang, atau untuk anak dimana dia berpikir dalam bentuk visualisasi dan gambar untuk memecahkan sesuatu masalah atau menemukan jawaban.
3. Kecerdasan Logika Matematika
Kecerdasan logika matematik adalah kecerdasan dalam hal angka dan logika. Kecerdasan ini melibatkan keterampilan mengolah angka dan atau kemahiran menggunakan logika atau akal sehat.
4. Kecerdasan Musik
Kecerdasan musikal yaitu kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal, dengan cara mempersepsi (penikamat musik), membedakan (kritikus musik), mengubah (komposer), mengekspresikan (penyanyi).
5. Kecerdasan Kinestetik
Kecerdasan fisik adalah suatu kecerdasan di mana saat menggunaknnya kita mampu melakukan gerakan-gerakan yang bagus, berlari, menari, membangun sesuatu, semua seni dan hasta karya.
6. Kecerdasan Personal
Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan diri kita untuk berpikir secara reflektif, yaitu mengacu kepada kesadaran reflektif mengenai perasaan dan proses pemikiran diri sendiri.
Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan interpersonal adalah berpikir lewat berkomunikasi dengan orang lain.

B. PENELITIAN MENGENAI PERKEMBANGAN KOGNITIF
Banyak penelitian dalam perkembangan kognitif yang dipusatkan pada egosentris anak, yaitu suatu karateristik yang membatasi kemampuan anak untuk mempertimbangkan pemikiran orang lain, terutama ketika pemikiran tersebut berbeda dengan yang mereka miliki. Seperti yang dikemukakan oleh Piaget, egosentris anak ditemukan dalam pikiran, bahasa, dan interaksi sosial mereka. 
Pada penelitian lain, peneliti menemukan anak tidak selalu bersifat egosentris. Anak-anak prasekolah terkadang dibatasi oleh sifat egosentris mereka, tetapi apabila dilakukan usaha yang efekif untuk mengurangi pengaruh dari pemikiran mereka maka anak akan lebih peka terhadap perbedaan pemikiran daripada apa yang mereka yakini. 
Penelitian lain juga menyatakan bahwa 
Daya ingat anak merupakan komponen dari berfikir dan belajar
Pengaruh budaya dalam perkembangan anak akan menghasilkan perbedaan kognitif dan gaya belajar
Pentingnya interaksi responsif, sensitif dan pengalaman perkembangan yang tepat serta interaksi sosial untuk anak dalam perkembangan otak mereka. 
Tanpa ikatan emosional dan pengasuhan yang tepat baik dari guru maupun orang tua, anak – anak akan menderita gangguan kemampuan kognitif.

C. FAKTOR PENDUKUNG PERKEMBANGAN KOGNITIF
Bermain adalah kegiatan yang paling penting untuk pertumbuhan kognitif anak-anak. Dalam belajar, anak-anak harus membangun pengetahuan dengan mengeksplorasi, bereksperimen, dan menemukan.
Kemampuan kognitif anak-anak dapat dibentuk dan diperluas melalui lingkungan bermain kreatif. Melalui bermain, anak-anak memperoleh jawaban atas pertanyaan mereka tentang dunia, menguji ide-ide baru dan konsep, berlatih memecahkan masalah dan keterampilan penalaran serta mengembangkan rasa senang dalam proses pembelajaran.
1) Memperluas Keingintahuan Anak
Anak membutuhkan guru yang mau mendengarkan mereka dan membantu mereka menemukan jawaban dari kesulitan yang mereka hadapi. Seorang pendidik anak usia dini yang mengharapkan untuk mengikuti petunjuk atau panduan perencanaan pembelajaran untuk mengajar anak-anak yang mempunyai karakter unik. Guru tidak perlu tahu semua jawaban atas pertanyaan anak-anak tetapi harus menghargai pikiran mereka dan siap untuk membantu anak-anak agar terlibat dalam proses belajar untuk menemukan jawaban yang mereka cari. Guru juga harus cerdas, berpengetahuan, sensitif, penasaran, dan menghormati kebutuhan anak-anak yang selalu ingin tahu. Guru harus menciptakan lingkungan kelas di mana anak-anak dapat mempelajari konsep-konsep dan ide-ide melalui bermain serta mengeksplorasi situasi dan memecahkan masalah bersama-sama melalui bermain.

2) Belajar Konsep Baru
Anak-anak tidak dapat menemukan ide atau konsep hanya dengan mendengar tentang suatu hal, mereka harus memiliki kesempatan untuk menyentuh, merasakan, bergerak, memanipulasi, dan mengeksplorasi untuk benar-benar memahami arti dari konsep.
 Anak juga membutuhkan pengalaman berulang serta bahan-bahan dalam rangka untuk mengeksplorasi dan menguji konsep-konsep baru. Guru akan membantu anak-anak untuk memperkuat pembelajaran mereka dengan memberikan kesempatan untuk mengulang permainan mereka dengan benda dan menerapkan berbagai konsep tentang benda lain, aktivitas atau situasi. Kegiatan belajar yang baru mendorong eksplorasi anak  dan manipulasi mendorong anak untuk  mempelajari konsep-konsep baru.

3) Mengembangkan Keterampilan Pemecahan Masalah
Guru yang menyediakan lingkungan kelas yang fleksibel di mana anak-anak didorong untuk bereksperimen dengan ide dan mencari cara-cara alternatif untuk memecahkan masalah. Di mana ada banyak kemungkinan dan berbagai cara mendorong anak-anak untuk berpikir, berinteraksi dan menciptakan suasana yang dapat mendorong anak untuk memecahkan masalah.
Guru juga meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dengan mendorong anak untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka dan mengeksplorasi berbagai alternatif yang mungkin daripada secara otomatis memberikan informasi anak, jawaban dan saran. Seorang guru yang terampil dan sensitif akan tahu kapan anak benar-benar membutuhkan bantuan dan dukungan dan juga akan tahu kapan mereka membutuhkan dorongan untuk menemukan solusi mereka sendiri dan resolusi.

4) Permainan Pendukung
Kenikmatan belajar anak juga didukung ketika guru memilih kegiatan yang memungkinkan anak-anak untuk mengeksplorasi kemampuan mereka yang unik, mengambil waktu mereka sendiri, dan bersenang-senang. Misalnya, seorang guru yang menyediakan berbagai bahan untuk sebuah proyek seni (misalnya, konstruksi kertas, benang, kain, pipa pembersih, kertas tisu dan lem) mendorong anak untuk berpikir, bereksperimen dan menciptakan sesuatu. Jenis kegiatan terbuka juga memungkinkan semua anak untuk mengalami kenikmatan dan keberhasilan terlepas dari tingkat perkembangan mereka. 

D. TUJUAN DAN AKTIVITAS UNTUK PERKEMBANGAN KOGNITIF
Bahasan ini akan membahas tentang tujuan khusus tentang perkembangan kognitif anak. Dilihat dari 4 aspek yaitu (1) penyelesaian masalah/pemikiran (2) konsep pembentukan (3) meniru atau ingatan and (4) mengklasifikasi. Kegiatan ini meliputi pada bayi, batita, and anak prasekolah.
1) Pemecahan Masalah
Anak memperoleh kemampuan kognitif saat mereka belajar untuk berpikir, memproses informasi, menyelesaikan masalah, dan mengetahui urutan peristiwa ataupun pengembangan sikap positif yang mengarah pada belajar. 
Tujuan khusus perkembangan pada bahasan ini yaitu :
1. Membantu anak untuk belajar berfikir untuk diri mereka sendiri
2. Mengajarkan anak untuk memikirkan jalan keluar bagi masalahnya dan dapat memberikan alternatif cara penyelesaian masalah
3. Membantu anak untuk menikmati dan tertarik pada belajar
4. Meningkatkan kemampuan anak untuk memahami kalimat, cerita atau urutan dari hal-hal logis
Berikut ini adalah beberapa aktivitas yang dapat dilakukan pada bayi, batita dan anak usia pra sekolah yang dapat dikembangkan sesuai dengan keberagaman tingkat perkembangan anak. Kegiatan ini dapat dilaksanakan di lingkungan luar sekolah (tidak di dalam kelas).
a) Kegiatan Bayi (Petak Umpet)
b) Kegiatan Batita (Membangun Bangunan Tinggi)
c) Kegiatan Anak Prasekolah (Perahu dan Beruang).

2) Konsep Pembentukan
Pada bahasan ini anak akan dibawa untuk mempelajari  konsep baru seperti interaksi dengan lingkungan dan pengujian dan menggunakan konsep baru. Tujuan khusus pengembangan kognitif pada bagian ini adalah:
1. Membantu anak belajar tentang lingkungan khususnya proses persepsi
2. Membantu anak belajar untuk mengidentifikasi warna dan bentuk
3. Mendorong anak untuk belajar  menghitung dan mengerti konsep angka
4. Meningkatkan kemampuan anak untuk memahami hubungan dengan objek dan tubuh mereka dalam ruang. 
Konsep pembentukan merupakan fasilitas yang sangat baik di dalam kelas dimana anak memiliki peluang untuk berpartisipasi aktif dan menguji ide-ide yang baru. Berikut ini adalah contoh aktivitas  sederhana  untuk bayi, batita dan anak usia pra sekolah yang dapat dikembangkan sesuai dengan keberagaman tingkat perkembangan anak. Kegiatan ini dapat dilaksanakan di lingkungan luar sekolah (tidak didalam kelas)
a) Kegiatan Bayi (Bentuk Bola)
b) Kegiatan Batita (Penempatan)
c) Kegiatan Anak Prasekolah (Bentuk Dimana-mana).

3) Meniru/Ingatan
Pengembangan dalam meniru dan ingatan pada anak melibatkan kemampuan mengingat kembali, meniru, dan perwakilan. Tujuan khusus perkembangan antara lain :
1. Mendorong anak untuk mengingat kembali objek yang dikenal dan peristiwa
2. Meningkatkan kemampuan anak dalam meniru model sikap, structur dan sebagainya
3. Membantu anak untuk belajar secara visual dan mewakili objek, personal dan peristiwa dibagian-bagiannya. 
4. Mendorong anak untuk mengingat kembali  pengalaman yang pernah didapat. 
Perkembangan ini dapat diperoleh oleh anak jika diberikan variasi  peluang  untuk menjawab pertanyaan, mendeskripasikan peristiwa. Berikut ini adalah kegiatan yang dapat dilakukan bagi bayi, batita, anak prasekolah. Dan kegiatan ini dapat puta dilakukan di luar sekolah. 
a) Kegiatan Bayi (Peek a Boo)
b) Kegiatan batita (Whats Wissing)
c) Kegiatan Prasekolah (Zoo Parade).

4) Asosiasi/Klasifikasi
Subdomain keempat di bidang kognisi adalah pengembangan asosiasi dan keterampilan klasifikasi. Membantu anak mengembangkan kemampuan kognitif spesifik dalam mengklasifikasikan kelompok obyek dan peristiwa dan belajar untuk membangun hubungan antara obyek dan peristiwa tugas utama dalam subdomain ini. Tujuan-tujuan pembangunan yang spesifik meliputi:
1. Mendorong anak untuk mengembangkan kemampuan mental yang spesifik dalam pencocokan, pengelompokan, pemesanan dan penggolongan.
2. Mendorong anak untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi penggunaan dan atribut dari benda, peristiwa, cuaca, bagian tubuh, dan sebagainya.
3. Membantu anak-anak belajar untuk memahami dan menyelesaikan pernyataan anologi.
4. Meningkatkan kemampuan anak untuk membangun hubungan antar objek.
Anak dapat membangun kemampuan untuk berlatih asosiasi dan keterampilan klasifikasi dalam lingkungan di mana mereka memiliki berbagai peluang untuk terlibat dalam kegiatan dan permainan yang melibatkan pencocokan, pengelompokan, dan mengklasifikasi. Berikut adalah beberapa contoh kegiatan untuk bayi, batita, dan anak-anak prasekolah yang dapat disesuaikan untuk berbagai tingkat perkembangan.
a) Kegiatan Bayi (Bau) 
b) Kegiatan Batita (Harta Karun)
c) Kegiatan Anak Prasekolah (Menyembunyikan dan Mencari Pasangan).




DAFTAR PUSTAKA

Bandura, A. (1969). Principles Modification Behavior Modification. New York: Holt, Rinehart, &Winston
Bandura, A. (1977).Social Learning Theory. Upper Saddle River, NM: Merril/Prentice Hall.
Belmont, J. (1989). Cognitive Srategies and Strategic Learning: The Socio-Intructional appoarch. Amerikan Psychologist, 44, 142-148.
Cohen, R. (1971). The Influence Of Conceptual rule-sets on measures of learning ability. In M. Tumin, (Ed), Race And Intelligence (pp. 89-96). Washington, DC:American Anthropologiocal Association.
Donaldson, M. (1978). Children’s Minds. New York:Norton.
Families and Work Institute. (1996, June). Rethinking The Brain: New Insigh Into Early Development. Executive summaqry of the conference on brain defelopment in Young Children:newFronties for reserch, Policy, and practice, Universiti of chicago
Flavell, J. (1970). Cognitive Development. Englewood Cliffs, NJ: Prentice- Hall.
Gardner, H. (1983). Frames Of Mind: The Theory Of Multiple Intelligence. New York:Basic Books.
Gunnar, M. Dampening Of Behavioral and adrenocortical reactivity during early infancy:normative changes and individual differences. Child Deveplopment, 67(3), 877-889
Hale-Benson, J. (1981). Black children:Their roots, culture, and learning style.Young Children, 36(2), 37-50
Hendrick, J. (1998). Total Learning: Developmental Curriculum For The Young Child (5th ed). Upper Saddle river, NJ: Merrill/Prentice Hall
Hilliard, A.(1976). Alternatives To IQ Testing:An Approach To The Identicifation Of Gifted Minority Children. Final report to the calofornia state departement of education.
Leister-Willis, C. (1997). What new research on the brain tells us about our youngest children:Summary on the white house conference on early chilhood. Dimension, 25(2), 20a-d.
Maratsos, M.(1973). Non-Egocentrick communication abili-ties in preschool children. Child Development, 44, 697-700.
Newberge, J.(1997). New brain development research-A Wonderfull opportunity to build publick support for early chilhood education! young childrent, 52(4), 4-9.
Piaget, j,& Inhelder, B(1969). The psychology of the child. New York: Basic Books.
Rogers, C. S & Sawyers, J. K (1988). Play in  the lives of children. Washington, DC: National Association for the Education of Young Children.
Roggof, B. (1990). Apprenticeship In Thinking: Cognitive Development In Social Context.New York: Oxford University Press.
Roggof, B &Misrty, J.(1985). Memory Development in cultural context. In M. Pressley & C. Brainer (Eds), Proggress In Cognitive Development. New York:SpringerVerlag.
Strenberg, R. (1985). Beyond IQ: Atriachic Theory Of Human Intellegence. New York:Cambridge University Press


Senin, 18 Februari 2013

Sekilas tentang PAUD


 1.    Maslow
Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi Humanistik. Maslow percaya bahwa ,manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs atau Hirarki Kebutuhan Kehidupan keluarganya dan pengalaman hidupnya memberi pengaruh atas gagasan gagasan psikologisnya.
Psikolog humanis percaya bahwa setiap orang memiliki keinginan yang kuat untuk merealisasikan potensi potensi dalam dirinya, untuk mencapai tingkatan aktualisasi diri.Untuk membuktikan bahwa manusia tidak hanya bereaksi terhadap situasi yang terjadi di sekelilingnya, tapi untuk mencapai sesuatu yang lebih, Maslow mempelajari seseorang dengan keadaan mental yang sehat, dibanding mempelajari seseorang dengan masalah kesehatan mental. Hal ini menggambarkan bahwa manusia baru dapat mengalami "puncak pengalamannya" saat manusia tersebut selaras dengan dirinya maupun sekitarnya. Dalam pandangan Maslow, manusia yang mengaktualisasikan dirinya, dapat memiliki banyak puncak dari pengalaman dibanding manusia yang kurang mengaktualisasi dirinya.
Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Kebutuhan fisiologis atau dasar
  2. Kebutuhan akan rasa aman
  3. Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
  4. Kebutuhan untuk dihargai
  5. Kebutuhan untuk aktualisasi diri
Maslow memperluas cakupan prinsip homeostatik ini kepada kebutuhan-kebutuhan tadi, seperti rasa aman, cinta dan harga diri yang biasanya tidak kita kaitkan dengan prinsip tersebut. Maslow menganggap kebutuhan-kebutuhan defisit tadi sebagai kebutuhan untuk bertahan.Cinta dan kasih sayang pun sebenarnya memperjelas kebutuhan ini sudah ada sejak lahir persis sama dengan insting
a.  Kebutuhan Fisiologis
Pada tingkat yang paling bawah, terdapat kebutuhan yang bersifat fisiologik (kebutuhan akan udara, makanan, minuman dan sebagainya) yang ditandai oleh kekurangan (defisi) sesuatu dalam tubuh orang yang bersangkutan. Kebutuhan ini dinamakan juga kebutuhan dasar (basic needs) yang jika tidak dipenuhi dalam keadaan yang sangat estrim (misalnya kelaparan) bisa manusia yang bersangkutan kehilangan kendali atas perilakunya sendiri karena seluruh kapasitas manusia tersebut dikerahkan dan dipusatkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya itu. Sebaliknya, jika kebutuhan dasar ini relatif sudah tercukupi, muncullah kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan akan rasa aman (safety needs).
b.  Kebutuhan Rasa Aman
Jenis kebutuhan yang kedua ini berhubungan dengan jaminan keamanan, stabilitas, perlindungan, struktur, keteraturan, situasi yang bisa diperkirakan, bebas dari rasa takut dan cemas dan sebagainya. Karena adanya kebutuhan inilah maka manusia membuat peraturan, undang-undang, mengembangkan kepercayaan, membuatsistem, asuransi, pensiun dan sebagainya. Sama halnya dengan basic needs, kalau safety needs ini terlalu lama dan terlalu banyak tidak terpenuhi, maka pandangan seseorang tentang dunianya bisa terpengaruh dan pada gilirannya pun perilakunya akan cenderung ke arah yang makin negatif.
c.  Kebutuhan Dicintai dan Disayangi
Setelah kebutuhan dasar dan rasa aman relatif dipenuhi, maka timbul kebutuhan untuk dimiliki dan dicintai (belongingness and love needs). Setiap orang ingin mempunyai hubungan yang hangat dan akrab, bahkan mesra dengan orang lain.Ia ingin mencintai dan dicintai. Setiap orang ingin setia ka33wan dan butuh kesetiakawanan.Setiap orang pun ingin mempunyai kelompoknya sendiri, ingin punya "akar" dalam masyarakat. Setiap orang butuh menjadi bagian dalam sebuah keluarga, sebuah kampung, suatu margadll. Setiap orang yang tidak mempunyai keluarga akan merasa sebatang kara, sedangkan orang yang tidak sekolah dan tidak bekerja merasa dirinya pengangguran yang tidak berharga.Kondisi seperti ini akan menurunkan harga diri orang yang bersangkutan.
d.  Kebutuhan Harga Diri
Di sisi lain, jika kebutuhan tingkat tiga relatif sudah terpenuhi, maka timbul kebutuhan akan harga diri (esteem needs).  Ada dua macam kebutuhan akan harga diri. Pertama adalah kebutuhan-kebutuhan akan kekuatan, penguasaan, kompetensi, percaya diri dan kemandirian.Sedangkan yang kedua adalah kebutuhan akan penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, kebanggaan, dianggap penting dan apresiasi dari orang lain.Orang-orang yang terpenuhi kebutuhannya akan harga diri akan tampil sebagai orang yang percaya diri, tidak tergantung pada orang lain dan selalu siap untuk berkembang terus untuk selanjutnya meraih kebutuhan yang tertinggi yaitu aktualisasi diri (self actualization).
e.  Kebutuhan Aktualisasi Diri
Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang terdapat 17 meta kebutuhan yang tidak tersusun secara hirarki, melainkan saling mengisi.Jika berbagai meta kebutuhan tidak terpenuhi maka akan terjadi meta patologi seperti apatisme, kebosanan, putus asa, tidak punya rasa humor lagi, keterasingan, mementingkan diri sendiri, kehilangan selera dan sebagainya
2.  Sarah Smilansky
Sarah Smilansky adalah seorang guru besar di Tel Aviv, University Israel. Smilansky peduli terhadap psikologi anak dan mengemukakan tentang “Pengembangan kognitif anak melalui permainan. Diyakini melalui permainan dan pengalaman nyata membuat anak mempunyai imajinasi.
Smilansky dalam Dockett dan Fleer (1999:59) percaya bahwa pendidikan anak usia dini merupakan hal yang sangat fundamental dalam memberikan kerangka terbentuknya perkembangan dasar-dasar pengetahuan, sikap dan keterampilan pada anak. Proses pendidikan dan pembelajaran pada anak usia dini hendaknya dilakukan dengan tujuan memberikan kosep-konsep dasar yang memiliki kebermaknaan melalui pengalaman yang nyata, sehingga anak dapat memperoleh pengetahuan baru untuk menunjukkan kreativitas dan rasa ingin tahu secara optimal.
Pada rentangan usia ini anak akan mengalami masa keemasan/Golden Age dimana anak mulai peka terhadap diri dan lingkungannya dengan melalui stimulasi yang diberikan. Masa ini juga merupakan masa peletak dasar untuk mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, psikomotorik, bahasa, sosio emosional dan spiritual.
Menurut Smilansky, setiap anak harus mengalami pengalaman main yang banyak. Anak usia dini belajar melalui panca inderanya dan melalui hubungan fisik dengan lingkungan. Kebutuhan sensiomotorik anak didukung ketika disediakan kesempatan untuk berhubungan luas atau didalam ruangan. Untuk itu, berikan kesempatan untuk bergerak secara bebas bermain di halaman, dilantai, atau dimeja dan dikursi. Kebutuhan sensori motor anak didukung bila lingkungan baik didalam maupun diluar ruangan menyediakan kesempatan untuk berhubungan dengan banyak tekstur dan berbagai jenis bahan bermain yang berbeda yang mendukung setiap kebutuhan perkembangan anak. Piaget dan Smilansky dalam Dockett dan Fleer (1999:59-60) mengemukakan tahapan bermain pada anak usia dini, sebagai berikut:
1.    Bermain Fungsional (Fungcional Play)
Bermain seperti ini berupa gerakan yang bersifat sederhana dan berulang-ulang contohnya: berlari-lari, mendorong dan menarik mobil-mobilan.
2.    Bermain Membangun (Constructive Play)
Kegiatan bermain ini untuk membentuk sesuatu, menciptakan bangunan dengan alat permainan yang tersedia contohnya menyusun puzzle, Lego, atau Balok Kayu.
3.    Bermain Pura-pura (Make-believe play)
Anak menirukan kegiatan orang yang dijumpainya sehari-hari atau berperan/memainkan tokoh-tokoh dalam film kartun atau dongeng. Dimana anak melakukan peran imajinatif atau memerankan tokoh yang dikenalnya melalui film/dongeng/cerita lebih ditekankan pada bermain makro. Contoh dokter-dokteran, polisi-polisian, atau meniru tukang bakso.

4.    Bermain dengan peraturan (Game with rules)
Dalam kegiatan bermain ini, anak sudah memahami dan bersedia mematuhi peraturan permainan. Aturan permainan pada awalnya dapat dan boleh diubah sesuai kesepakatan orang yang terlibat dalam permainan aslkan tidak menyimpang jauh dari aturan umumnya, misalnya bermain kartu domino, bermain tali atau monopoli.
Khusus tentang Dramatic play, Smilansky meyakini bahwa bermain melalui dramatic play sangat penting dalam mengembangkan kreativitas, intelektual, bahasa dan keterampilan social dan emosional. Tidak semua anak memiliki pengalaman dramatic play. Pada intinya bermain sangat mendukung perkembangan kognitif anak, social dan emosionalnya dan juga merupakan kegiatan yang sangat kondusif semua aspek perkembangan anak. Melalui dramatic play anak dapat mengembangkan kemampuannya dalam menyelesaikan masalah, belajar menampilkan peran yang dapat diterima lingkungannya dan juga keterampilan bersosialisasi agar kelak mampu menyesuaikan diri dengan kelompok social di masyarakat ataupun teman sebayanya.
3.  Erikson
            Erik Erikson, seorang psikoanalis Jerman sangat dipengaruhi oleh Sigmund Freud, menjelajahi tiga aspek identitas: identitas ego (diri), identitas pribadi (personal keistimewaan yang membedakan seseorang dari yang lain, identitas sosial / budaya (kumpulan peran sosial seseorang mungkin bermain). Teori psikososial Erikson pembangunan mempertimbangkan dampak dari faktor eksternal, orang tua dan masyarakat pada pengembangan kepribadian dari kecil hingga dewasa. Menurut teori Erikson, setiap orang harus melewati serangkaian delapan tahapan yang saling terkait melalui seluruh siklus hidup.
1.    Bayi (Harapan) - Dipercaya Dasar vs Ketidakpercayaan
2.    Balita (Will) - Otonomi vs Malu
3.    Anak prasekolah (Tujuan) - Inisiatif vs Guilt
4.    Sekolah-Usia Anak (Kompetensi) - Industri vs Rendah diri
5.    Remaja (Fidelity) - Identitas vs Difusi Identitas
6.    Dewasa Muda (Cinta) - Intimacy vs Isolation
7.    Setengah baya Dewasa (Perawatan) - generativitas vs Self-penyerapan
8.    Lama Dewasa (Wisdom) - Integritas vs Keputusasaan

4.  Jean Piaget
Jean Piaget adalah seorang ilmuwan yang dilahirkan di Neuchatel, Swiss. Piaget merupakan anak yang jenius, artikel pertamanya terbit pada usia 12 tahun. Pada usia 18 tahun meraih gelar sarjana dan mendapatkan gelar doctor di usia 21. Piaget adalah seorang ahli dalam bidang biologi dan yang kemudian tertarik terhadap cara berpikir anak.
Piaget dalam Suparno (2003:20) berpendapat bahwa anak perlu diberikan berbagai pertanyaan untuk meningkatkan kemampuan berpikirnya. Piaget melakukan penelitian longitudinal melalui pengamatan tentang perkembangan intelektual  pada ketiga anaknya. Pada tahap selanjutnya Piaget juga melakukan riset pada ribuan anak lainnya.
Menurut pandangan Piaget, intelegensi anak berkembang melalui suatu proses active learning. Para pendidik hendaknya mengimplementasikan active learning dengan cara memberikan kesempatan kepada anak untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan yang dapat mengoptimalkan penggunaan seluruh panca indra anak.
Ketika Piaget bekerja sama dengan binet dalam pengembangan tes untuk mengukur intelegensi, ia sangat tertarik dengan jawaban salah yang diberikan oleh seorang anak dalam tes yang diberikan kepada mereka, sehingga ia ingin tahu dan meneliti lebih lanjut apa yang ada dibelakang pemikiran anak terhadap jawaban salah tersebut.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Piaget sampai pada kesimpulan bahwa:
1.    Anak bermain  dan berpikir aktif dalam mengembangkan kognitif mereka
2.    Kegiatan mental dan berpikir sangat penting untuk mengembangkan kegiatan anak
3.    Pengalaman-pengalaman sebagai bahan mentah untuk mengembangkan struktur mental anak.
4.    Anak berkembang melalui interaksinya dengan lingkungan
5.    Perkembangan terjadi sebagai hasil dari kematangan dan interaksi antara anak,lingkungan fisik dan social anak.
Disamping itu piaget mengemukakan tentang konsep dasar yang dapat mendukung perkembangan anak, yaitu: (1) semua orang membutuhkan belajar begaimana membaca dan menulis, (2) Anak belajar dengan baik dengan menggunakan panca inderanya, (3) Semua anak dapat dididik, (3) Semua anak harus di didik untuk memaksimalkan kemampuannya, (4) Pendidikan harus dimulai sejak dini, (5) Anak tidak harus dipaksa untuk belajar, tetapi harus sesuai dengan kesiapan belajar menekan dan harus mempersiapkan pada tahap selanjutnya, (6) Kegiatan belajar harus menarik dan berarti bagi anak, (7) Anak dapat belajar aktivitas berdasarkan keterkaitanya.

a.    Cara Anak Memperoleh Pengetahuan
1)    Melalui interaksi social, anak mengetahui sesuai dari manusia lain ketika anak meneliti atau melihat sesuatu, anak tersebut akan tahu tentang objek jika diberitahu oleh pihak lain.
2)    Melalui pengetahuan fisik, yaitu mengetahui sifat fisik dari suatu benda. Penegetahuan ini diperoleh dengan menjelajah dunia yang bersifat fisik, melalui kegiatan tersebut anak belajar tenang sifat bulat, panjang, pendek, keras, lemah, dingin atau panas. Konsep tersebut didapat dari pemahaman terhadap lingkungan dimana anak berinteraksi langsung.
3)    Melalui logika Mathematical, meliputi pengertian tentang angka, seri, klasifikasi, waktu, ruang, dan konversi.

b.    Implementasi dalam Pembelajaran Anak Usia Usia Dini
Untuk membangun pengetahuan pada anak diperlukan metode pembelajaran yang tepat agar pengetahuan yang ingin dibangun oleh anak dapat terinternalisasi dengan baik, metode tersebut antara lain:
1)    Metode praktek langsung, melalui kegiatan praktik langsung diharapkan anak akan dapat pengalaman melalui interaksi langsung dengan objek.
2)    Metode cerita, anak akan mendapat pengetahuan tentang bagaimana cara menyampaikan pesan pada orang lain mampu memahami pesan-pesan ingin disampaikan.
3)    Metode Tanya jawab, membangun pengetahuan melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sehingga anak dapat menjawab dan membuat pertanyaan sesuai informasi yang ingin diperoleh.
4)    Metode Proyek, memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan eksplorasi pada lingkungan sekitar sebagai proyek belajar.
5)    Metode Bermain Peran, anak dapat mengembangkan pengetahuan social karena dituntut untuk mempelajari dan memperagakan peran yang akan dimainkan.
6)    Metode Demonstrasi, menunjukkan/memperagakan suatu tahapan kejadian, proses dan peristiwa.
                                                                                           
5.  Lev  Vygotsky
Lev Vygotsky dikenal sebagai a socialcultural construvist asal Rusia. Vygotsky dalam Bordova dan Deborah (1996:23) berpendapat bahwa penegetahuan tidak diperoleh dengan cara di alihkan dari orang lain, melainkan merupakan sesuatu yang dibangun dan diciptakan oleh anak. Vygotsky yakin bahwa belajar merupakan sesuatu proses yang tidak dapat dipaksa dari luar karena anak adalah pembelajar aktif dan memiliki struktur psikologis yang mengendalikan perilaku belajarnya (Bordova dan Deborah, 1996:23).
Selanjutnya teori revolusi sosio kulturalnya, Vygotsky mengemukakan bahw
a manusia memiliki alat berpikir (tool of mind) yang dapat dipergunakan untuk membantu memecahkan masalah, memudahkan dalam melakukan tindakan, memperluas kemampuan, melakukan sesuatu sesuai kapasitas alami (Bordova dan Deborah, 1996:26) Vygotsky mengemukakan beberapa kegunaan dari alat berpikir manusia yaitu:
1.    Membantu memecahkan masalah, sesorang akan mampu mencari jalan keluar terhadap masalah yang dihadapinya, anak-anak akan mencoba memecahkan masalah dalam permainan yang sedang dikerjakan (mencari jejak).
2.    Memudahkan dalam melakukan tindakan, dengan alat berpikirnya, setiapindividu akan dapat memilih tindakan atau perbuatan seefektif dan seefesien mungkin dalam mencapai tujuan itu merupakan cerminan dari fungsinya alat berpikir.
3.    Memperluas kemampuan, melalui berbagai eksplorasi yang dilakukan soorang anak melalui panca inderanya, maka akan semakin banyak hal yang akan ia ketahui.
4.    Melakukan sesuatu yang sesuai dengan kapasitas alaminya, alat berpikir berkembang secara alami, mengikuti apa yang terjadi disekitarnya. Semakin banyak stimulasi yang diperoleh anak dalam berinteraksi dengan lingkungan, maka akan semakin cepat berkembang fungsi pikirnya.
Prinsip dasar dari teori Vygotsky adalah bahwa anak melakukan proses ko-konstruksi membangun berbagai penegetahuannya tidak dapat dipisahkan dari konteks social dimana anak tersebut berada. Penegetahuan juga berasal dari lingkungan budaya. Pengetahuan yang berasal dari budaya  biasanya didapatkan secara turun temurun melalui orang-orang yang berada disekitar. Penegethuan dibangun oleh anak berdasarkan kemampuan dalam memahami perbedaan berdasarkan persamaan yang tampak.
Peningkata kualitas kognitif terasa dari kehidupan sosialnya, bukan sekedar dari individu itu sendiri. Teori Vygotsky lebih tepat disebut sebagai pendekatan ko-konstruktivisme yaitu proses membangun pengetahuan baru secara bersama-sama antara semua pihak yang terlibat didalamnya. Vygotsky percaya bahwa Kognitif tertinggi yang berkembang saat anak berada disekolah yaitu saat terjadinya interaksi antara anak dan guru. Pengetahuan yang diberikan secara termakna bagi anak akan memberikan dampak yang berharga bagi anak.
Penerapan teori konstruktivisme dalam program kegiatan bermain pada anak usia dini haruslah memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) anak hendaknya memperoleh kesempatan luas dalam kegiatan pembelajaran guna menegembangkan potensinya; 2) pembelajaran pada anak usia dini hendaknya dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensial daripada perkembangan aktualnya; 3) program kegiatan bermain lebih diarahkan pada penggunaan strategi; 4) anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajari dengan pengetahuan procedural untuk melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah dan; 5) proses belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih merupakan ko-konstruksi.
Vygotsky memandang bermain sebagai kegiatan social. Pada awalnya, anak-anak bermain secara solitary (bermain secara sendiri-sendiri), seiring dengan kematangan kognitif anak dan berkurangnya egosentris, permainan anak menjadi lebih social.
Cara Belajar Anak Usia Dini
Berhubungan dengan proses pembentukan, Vygotsky mengemukakan konsep Zone of Proximal Development (ZPD), Hukum genetic tentang perkembangan dan Mediasi.
1.    Hukum genetic tentang perkembangan (Genetic Law of Development)
Kemampuan sesorang untuk tumbuh dan berkembang melewati 2 tatanan, yaitu tatanan social tempat orang-orang membentuk lingkungan sosialnya dan tatanan psikologis didalamdiri orang yang bersangkutan. 4 tahapan yang terjadi dalam perkembangan dan pembelajaran:
1.    Tindakan anak masih dipengaruhi/dibantu orang lain
2.    Tindakan anak didasarkan atas inisiatif sendiri
3.    Tindakan anak berkembang spontan dan terinternalisasi
4.    Tindakan spontan akan terus diulang-ulang hingga anak siap untuk berpikir secara abstrak.

2.    Mediasi
Merupakan tanda, lambing dan bahasa mediator yang berasal dari lingkungan sosiokultural dimana seseorang berada. Dalam kegiatan pembelajaran anak dibimbing oleh orang dewasa/teman sebaya yang lebih kompeten untuk memahami tanda, lambing dan bahasa merupakan penghubung antara rasionalitas sosiokultural (internal) dengan individu sebagai tempat berlangsungnya proses belajar. Sebagai mediator, bahasa sangat penting dalam perkembangan kognisi anak. Bahasa dapat menjadikan anak berimajinasi, memanipulasi, menciptakan gagasan baru dan membagi gagasan tersebut dengan orang lain.
Implementasi Model Pembelajaran Vygotsky
Kegiatan pembelajaran berdasarkan teori belajar Vygotsky antara lain:
1.    Menyusun balok
Diharapkan anak-anak dapat membangun imajinasinya tentang bentuk dan ruang memanipulasi bangunan dari balok-balok yang telah tersedia.
2.    Menyampaikan cerita
Menyampaikan cerita biasanya memberikan keuntungan dalam menegembangkan bahasa dan kreativitas. Mendorong  perkembangan ketajaman ingatan,berpikir logis dan pengendalian diri.
3.    Permainan dramatik
Merupakan suatu kegiatan mengungkapkan seluruh fungsi mental tinggi, pengendalian diri dan berbagai fungsi simbolik.
4.    Penulisan jurnal
Anak melakukan komunikasi dengan orang lain melalui berbagai ungkapan secara tertulis.
6.Howard Gardner
Seorang psikolog di Harvard University, mempelajari dan mengembangkan pandangan analitis berdasarkan pada pengorganisasian kecerdasan manusia bukan sebagai satu elemen, tetapi oleh tujuh kategori berikut kecerdasan. Gardner menyampaikan bahwa setiap orang adalah campuran dari semua tujuh, dalam berbagai derajat. Dengan melihat melalui "lensa" dari s Gardner, kita bisa melihat satu atau dua kecerdasan dominan berdiri di setiap orang yang kita kenal, termasuk diri kita sendiri. Kecerdasan lainnya yang jelas dalam mengurangi dominasi dan kekuatan lebih lanjut kita menganalisis. Mari kita daftar tujuh dan membahas setiap sedikit. Tubuh-Kinestetik Kecerdasan Orang dengan bentuk kecerdasan saja tidak bisa duduk diam. Mereka menggoyangkan terus-menerus, membuat suara dengan mulut mereka, jari, kaki, tangan, baik oleh terus-menerus menekan atau mencicit dan berkotek. Mereka tidak sabar untuk berada di luar bermain, berlari, memanjat pohon-sebut saja. Sebagai orang dewasa, mereka gelisah, mungkin doodle sementara di telepon. Jika seseorang kinestetik-jasmani memiliki keterampilan atletik juga, dia atau dia mungkin akan sangat baik di olahraga, menari, dan kegiatan lainnya.
Seorang anak dengan jenis intelijen tidak akan bergaul dengan baik dalam lingkungan sekolah yang khas. Sebagian besar sekolah mengajar anak-anak dengan cara yang lebih kondusif bagi kecerdasan logis-matematis. Interpersonal Intelijen, Orang dengan bentuk kecerdasan memiliki kepribadian yang kuat dan sensitif terhadap orang lain dan apa yang terjadi di sekitar mereka secara umum. Mereka membuat jenis sosial yang besar. Host masyarakat yang berhasil dan hostes yang mengadakan pesta di kota-kota komersial besar akan memiliki kecerdasan interpersonal yang kuat, tahu persis siapa yang harus mengundang untuk peristiwa jaringan penting serta siapa yang harus duduk bersama-sama dan siapa yang harus memisahkan.







Daftar Pustaka
 Abraham H. Maslow. 1964. Religion, Value, and Peak-Experiences. Columbus: Ohis State University Press. Hlm. 8.
C. George Boeree. 2006. Personality Theories. Yogyakarta: Primasophie. Hlm. 277-290.
Ibid. “Tahapan Pengembangan Intelektual Anak-anak dan Remaja" Anak DevelopmentInstitute.
-------"Belajar Melalui Play: Putar Fungsional." FB Meekins Preschool Koperasi.
          Http://www.fbmeekins.org/attachments/146 Learning Through Play2 Functional play.pdf (diakses 4 Oktober  2012.)
Sarlito W. Sarwono. 2002. Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 174-178.
Soegeng Santoso. Pendidikan Anak Usia Sini. Jakarta: Citra Pendidikan Indonesia, 2002.
Yuliani Nurani. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Indeks hak cipta Bahasa Indonesia, 2012.