Rabu, 06 Februari 2013

BAB 1 judul penelitian TIK pengaruh pola asuh orang tua dan tehnologi digital terhadap berat badan anak usia 4-5 tahun


BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Masa anak usia dini sering juga disebut golden age atau usia keemasan karena pada rentang usia ini anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat pada berbagai aspek. Begitu juga dengan perkembangan motorik anak. Pada usia ini badan anak masih begitu lentur dan mudah diarahkan ditambah dengan kesenangannya bereksplorasi dan seperti tak mengenal rasa takut, sehingga masa ini juga disebut usia penjelajah.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan keseluruhan proses pendidikan yang diselenggarakan di dalam kelurga, di Taman Kanak-Kanak dan Kelompok Bermain. Proses pendidikan merupakan kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan yang paling pokok dalam taman kanak-kanak, berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung pada bagaimana proses belajar yang dialami oleh anak didik sebagai peserta didik.

1
 
Pendidikan usia dini mengarah kepada anak yang akan mengenyam pendidikan disebut pra sekolah. Pada usia sekolah perlu ada pendidikan atau pengajaran baik formal maupun non formal. Pendidikan ini dikenal dengan istilah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Pelaksanaan pendidikan formal di Taman Kanak-Kanak berupaya melaksanakan proses pembelajaran yang salah satu tujuannya agar perkembangan motorik anak membaik.
            Pendidikan merupakan hak anak sebagai mana diatur dalam undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang menyataka bahwa:
Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari hal-hal yang bersifat kekerasan dan diskriminasi.”Salah satu implementasi dari hak anak ini adalah setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran yang layak dalam rangka pengembangan pribadi dan tingkat kecerdasan anak sesuai dengan minat dan bakat anak[1].

Anak usia 4-5 tahun memiliki energi yang tinggi. Energi ini digunakan untuk melakukan berbagai kegiatan fisik, baik yang berhubungan dengan kemampuan motorik kasar seperti berlari, melompat bergantung, melempar dan menendang, ataupun motorik halus seperti menggunakan jari-jari tangan untuk menyusun puzzle, ataupun memilih balok. Dengan energi yang besar sekaligus semangat anak yang tinggi untuk bereksplorasi, maka segala gerakan yang diajarkan pada anak akan dianggapnya sebagai suatu permainan yang menyenangkan. Sehingga usia 4-5 tahun disebut juga masa bermain.
Kesempatan yang luas untuk bergerak, pengalaman belajar menemukan, aktivitas sensori motor yang meliputi penggunaan otot-otot besar dan kecil memungkinkan anak untuk memenuhi perkembangan perseptual motorik (Catron dan Allen dalam Yuliani, 1999:287-304)[2].
Bermain dapat memacu perkembangan perseptual motorik pada beberapa area, yaitu: (1) koordinasi mata-tangan atau mata-kaki seperti saat menggambar, menulis, memanipulasi objek, mencari jejak secara visual, melempar, menangkap, menendang; (2) kemampuan motorik kasar, seperti gerak tubuh ketika berjalan , melompat, berbaris, meloncat, berlari, berjingkat, berguling, merayap, dan merangkak; (3) kemampuan bukan motorik kasar (statis) seperti menekur, meraih, bergiliran, memutar, meregangkan tubuh, jongkok, duduk, berdiri, bergoyang, (4) manajemen tubuh dan kontrol seperti menunjukkan kepekaan tubuh, kepekaan akan tempat;keseimbangan;kemampuan untuk memulai, berhenti, mengubah petunjuk[3].
Pengembangan Motorik sangat memerlukan bantuan orangtua atau pembimbing untuk melatih dalam pertumbuhanya, sehingga potensi motirik anak bisa berkembang secara optimal. Gerak motorik baru bagi anak usia dini memerlukan pengulangan-pengulangan dan bantuan orang lain, pengulangan itu merupakan bagian dari belajar. Setiap pengulangan dalam keterampilan baru, memerlukan konsentrasi untuk melatih koneksitas dan koordinasi gerak dengan indera lainya (Papalia, 2001:144). Masih dalam konteks pengembangan motorik anak usia dini ini, juga perlu melihat dan mempertimbangkan kebuthan anak, dan ragam perbedaan pertumbuhan mental secara individual. Hal ini penting diperhatikan untuk memberikan layanan yang akomodatif. Terkait dengan pengembangan motorik ini, perlu juga diperhatikan kematangan motorik yang terjadi pada anak, baik motorik halus maupun motorik kasar. Kematangan ini merupakan hasil dari awal penstabilan yang dilakukan dari setiap penguasaan ketrampilan baru (Papalia,2001:140), secara skuensi (Seifert and Hoffnung, 1987:179).
Secara alami dan kondisi natural tak tersentuh teknologi seperti jaman dulu, kemampuan motorik anak akan berkembang secara normal dan biasanya tanpa masalah yang berarti. Tapi dengan kondisi kehidupan saat ini yang sudah sangat dimudahkan oleh teknologi, sistem komunikasi yang membuat semakin dekat dan mudah, permaina dan pembelajaran yang menggunakan teknologi. Maka banyak gerakan dan tenaga yang hemat pada anak-anak. Sehingga jika tanpa stimulus dari orang tua dan lingkungan terdekat, mungkin terjadinya keterlambatan kemampuan motorik yang akhirnya bisa menghambat potensi anak yang lainnya. Untuk itu diperlukan partisipasi orang dewasa, terutama sang ibu untuk menstimulus perkembangan motorik anaknya.
Hanya saja, karena tingkat kebutuhan dasar ataupun kebutuhan gaya hidup terus meningkat selama dekade ini, menyebabkan makin banyak wanita bekerja di luar rumah dan anaknya ditinggalkan bersama media elektronik.
Di Makassar khususnya Kabupaten Maros yg merupakan kota pembangunan merupakan kota yang sudah terkena teknologi dan informatika.
Penelitian ini dilakukan di daerah Kabupaten Maros Sulawesi-Selatan (Kota Makassar). Demikian juga gambaran keadaan di daerah sulawesi Selatan yang merupakan daerah agraris dimana sebagian besar orang tua disibukkan dengan aktivitas bekerja di luar rumah (di pabrik, kebun, kantor dll), sehingga tidak luput dari permasalahan yang diutarakan. Perhatian mereka terhadap putra-putrinya sangat kurang. Sehingga pembantu yang membantu para orang tua yang dihadapkan kepada permasalahan tersebut dengan harapan putra-putri mereka tetap merasakan adanya kasih sayang, keceriaan dan yang pasti mendapatkan kesenangan dan sebagian besar anak mereka mendapatkan kesenangan dengan menggunakan teknologi yang lumayan canggih.
Secara jarak tempuh daerah kabup[aten Maros sangat jauh dari pusat kota Makassar. Kondisi tronsportasi kota yang sangat macet semakin memperpanjang waktu tempuh dan jam ibu bekerja di luar rumah atau ketika ibu ingin menggarap sawah atau lahannya maka ibu sering keluar rumah pada waktu subuh dan balik jam 6 malam, maka ketika kita liat waktu untuk anaknnya, bisa diperkirakan bahwa sang ibu sudah brangkat sebelum anaknya bangun dan tiba di rumah ketika anaknya sudah kembali tidur, dengan kata lain waktu ibu dan anaknya sangatlah sedikit apalagi mengasuh anaknya pada waktu bekerja.
Jadi kapan waktu ibu untuk berinteraksi dan bermain dengan anak, kalau bukan pada saat libur akhir pekan bahkan waktu liburpun dipergunakan untuk kembali mengerjakan tugas kantor atau bagi yang d desa kembali tetap berkebun. Kuantitas akhir pekan ini pun juga bisa akan didiskon karena ibu juga harus mengurus hal-hal rumah tangga lain seperti berbelanja bulanan, kepasar, atau kegiatan-kegiata sosialnya misalnya pertemuan warga atau pertemuan keluarga. Kurangnya kualitas dan durasi pertemuan antara ibu dan anak secara fisik, dan akhirnya juga akan mengurangi pertemuan mereka tentunya sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak apalagi ketika anaknya disodorkan permainan yang menggunakan teknologi yang serba canggi sehingga mengurangi ruang gerak anak.
Sebagai daerah yang terdiri dariberbagai kompleks perumahan, sistemnya cenderung homogen secara ekonomi dan pendididkan tapi heterogen secara agama dan budaya. Dimana masing-masing keluarga karena kesibukan kegiatannya keluar rumah dan tidak jarang kita dapati seorang ibu yang menguncikan anaknya didalam rumah.
Dengan lingkungan perumahan yang individual, dunia masing-masing anak sedikit dan juga alasan keamanan. Akhirnya anak tidak mempunyai teman bermain, baik untuk bermain di dalam rumah, maupun diluar rumah. Sementara kondisi rumah yang berdekatan, dengan halaman yang terbatas, tidak memungkinkan anak untuk melakukan permainan yang membutuhkan ruang gerak yang banyak.
Dengan tidak adanya teman sebaya yang bermain didalam maupun diluar rumah, juga tidak adanya orang dewasa yang menemani anak bermain diluar rumah, maka ajang anak bermain dengan teman sebayanya yang dapat diandalkan adalah disekolah. Sementara kegiatan fisik dan bermain anak di sekolah  juga sangat terbatas dengan adanya kurikulum, yang pada umumnya lebih berorientasi pada perkembangan kognitif anak.
Sekarang ini mudah kita perhatikan keluarga yang memiliki masalah yaitu keluarga yang kedua orang tuanya bekerja dari pagi hingga malam. Sehingga tidak ada anggota keluarga yang bisa mengawasi pertumbuhan dan perkembangan anak selama orang tua pergi bekerja seharian. Juga tidak ada anggota keluarga yang bisa mengajak anak bermain, sesuai dengn usianya.
Sebaliknya ada juga ibu yang tidak bekerja tapi dengan situasi yang cukup sulit karenma tidak adanya orang lain selain dirinya dan anaknya dirumah, sehingga ia sendiripun sudah sangat kerepotan dengan urusan rumah tangga, termasuk dalam hal ini kepengurusan anak. Apalagi jika hal ini ditambah dengan kurang mengertinya mengenai masalah tumbuh kembang dan pendidikan anak. Yang pada akhirnya anak tetap tidak mempunyai teman untuk bermain sesuai dengan kebutuhan usianya.
Selain itu ditambah dengan adanya anggapan masyarakat umum bahwa tumbuh kembang anak adalah sesuatu yang alamiah sehingga dengan adanya pembantu/pengasuh, sekolah yang bernuansa agama, dan keikutsertaan less tambahan sudah mencukupi kebutuhan pendidikan anak mereka. Sehingga tanpa disadari terjadilah hand over tanggung jawab orang tua pada lembaga terkait untuk masalah tumbuh kembang anak. Untuk mendapatkan penilaian bahwa anak mereka berhasil indikatornya adalah anak yang berprestasi secara akademis, yang biasanya berupa laporan berisi aspek-aspek kognitif dari sekolah anak.
Karena keterbatasan kondisi tersebut, tidak heran banyak anak usia TK sudah brangkat ke sekolah jam 7 pagi dan pulang jam  5 sore, karena setelah pulang dsekolah jan 1 siang kegiatan mereka dilanjutkan dengan les-lesyang umumnya terdiri dari les yang meningkatkan kemampuan kognitif, seperti les membaca, les menulis, matematika, bahasa inggris ataupun kursus yang meningkatkan kreativitas anak seperti kursus menari atau kursus mewarnai.
Karena hal tersebut di atas, maka bagi orang tua yang tidak mengikut sertakan anaknya les, ataupun pada hari dimana anaknya tidak ada jadwal les, mereka sangat “terbantu” dengan adanya perkembangan teknologi karena anaknya bisa bermain game atau permainan digital sehingga anaknya tidak perlu kemana-mana dan hanya tinggal di rumah. Tanpa menyadari sebenarnya banyak hal buruk  yang ditimbulkan oleh permainan-permainan tersebut.
Menonton TV, permainan komputer membuat anak kurang bergerak, menimbulkan kegemukan dan penurunan keterampilan motorik kasar ataupun kecerdasa kinestetik anak. Atau lebih jauh lagi akan timbulnya beberapa penyakit persendian yg muncul setelah anak semakin besar, karena posisi yg sama dalam waktu yang cukup lama.
OBESITAS pada anak sudah mencapai taraf epidemi di banyak negeri. Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan bahwa di seluruh dunia terdapat kira-kira 22 juta anak di bawah usia lima tahun yang kelebihan berat badan. Sebuah survei nasional di Spanyol menyingkapkan bahwa 1 dari setiap 3 anak kelebihan berat badan atau obes. Hanya dalam waktu sepuluh tahun (1985-1995), obesitas pada anak naik tiga kali lipat di Australia. Dalam tiga dasawarsa terakhir, obesitas pada anak berusia 6 hingga 11 tahun meningkat lebih dari tiga kali lipat di Amerika Serikat.
Obesitas pada anak juga dialami negara-negara berkembang. Menurut Satuan Tugas Obesitas Internasional, di beberapa bagian Afrika, ada lebih banyak anak yang mengalami obesitas ketimbang malnutrisi. Pada tahun 2007, Meksiko menempati urutan kedua di dunia, setelah Amerika Serikat, untuk obesitas pada anak. Konon di Mexico City saja, 70 persen anak dan remaja kelebihan berat badan atau obes. Ahli bedah anak Dr. Francisco González memperingatkan bahwa generasi ini mungkin adalah ”generasi pertama yang akan mati sebelum orang tua mereka akibat komplikasi obesitas”[4].
B. IDENTIFIKASI MASALAH

            Berdasarkan latar belakan masalah tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui : Bagaimana perkembangan motorik anak dengan kondisi perumahan dan persawahan , yaitu dengan kondisi kurang atau tidak adanya teman bermain sebaya? Bagaimana perkembangan motorik anak dengan kondisi rumah tidak ada orang dewasa yang membimbing mereka bermain sesuai dengan usianya?Bagaimana perkembangan motorik anak menghadapi era serangan teknologi digital? Bagaimana menghadapi masalah obesitas pada anak akibat serangan permainan teknologi digital? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi motorik kasar anak? Apakah ada hubungan berat badan anak dengan kemampuan motorik anak? Bagaimana kemampuan dasar motorik anak untuk melakukan permainan misalnya kemampuan berlari?Bagaiman pola bergerak anak yang cenderung individual dan statis terhadap kemampuan motorik anak? Bagaimana cara agar anak-anak bergerak? Bagaimana cara meningkatkan kemampuan motorik anak? Bagaimana agar anak sehat, bugar dan tidak mengalami obesitas?


C. PEMBATASAN MASALAH
Dari sekian banyak masalah yang teridentifikasih, karena pada usia 4-5 tahun syaraf-syaraf yang berfungsi untuk mengontrol gerakan motorik sudah mencapai tahap kematangannya[5], dimana tahap perkembangan gerakan dasar motorik kasar pada usia 4-5 tahun sudah berada pada tahap matang pada tungkainya,[6] maka ruang lingkup penelitian yang diteliti dibatasi pada masalah Pengaruh Pola Asuh Orang Tua danTeknologi Digital Terhadap berat badan pada anak usia 4-5 tahun, pada siswa kelas A di RA Al – Irsyad Dg Naba, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Baik laki-laki maupun perempuan yang berusia antara 4 (empat) sampa 5(liam) tahun, yang memiliki karakteristik umum seperti sama pada perkembangan motorik kasarnya. secara operasiona penelitian ini melibatkan dua variabel bebas, yaitu (1)Pola Asuh Orang tua dan (2)Teknologi Digital dan satu variabel terikat yaitu Berat Badan anak usia 4-5 tahun.
D. RUMUSAN MASALAH

1.    Apakah terdapat pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap berat berlari anak usia 4-5 tahun pada anak Anak kelas A di RA Al – Irsyad Dg Naba, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan?
2.    Apakah terdapat pengaruh antara Berat Badan anak dengan teknologi Digital anak usia 4-5 tahun?
3.    Apakah terdapat Pengaruh antara  Pola Asuh Orang Tua Dan Teknologi Digital  terhadap  berat badan anak, baik secara sendiri-sendiri ataupun secara bersama-sama pada anak usia 4-5 tahun?

E.  KEGUNAAN PENELITIAN

1.    Untuk mengetahui ada tidaknya pengaru pola asuh orang tua dan teknologi digital terhadap berat badan anak, baik secara sendiri-sendiri ataupun secara bersama-sama dengan anak Anak kelas A di RA Al – Irsyad Dg Naba, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan?
2.    Jika kedua variabel tersebut mempunyai hubungan positif bisa dijadikan sebagai acuan dan informasi kepada orang tua akan kebutuhan dasar anak  untuk bergerak, mengatur pola kegiatan fisik anak dan meningkatkan kemampuan motorik kasar anak, serta pola makan (gizi) anak.
3.    Sebagai data informasi kepada para orang tua dan dapat mengembangkan sumber daya ibu-ibu yang tidak bekerja untuk membantu anaknya dalam perkembangan motorik kasarnya atau membantu anak agar kebutuhan geraknya tercapai.



[1]Nanda. 2007. UU Perlindungan Anak, Benarkah Melindungi Anak?. Dalamhttp://qathrunnadacom.multiply.com. Diakses tanggal 7 Januari  2013pukul 04.02 pm
[2] Yuliani, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Din (Jakarta:PT Indeks, 2009) hal.63-64
[3] ibid
[4] Ine Mahardikawati, Obesitas Pada Anak,”Media Sehat.com, Minggu 30 Desember 2012.
[5] Martinis Jamaris, Perkembangan Dan Pengembangan Anak Usia Taman Kanak-Kanak, Grasindo, 2006,h. 10
[6] David L. Gallahue, John C. Ozmun, Motor Development, McGraw Hill,Undestanding Motor Developmen, McGraw Hill, International Edition, 2006, 4th edition, h.311

Tidak ada komentar:

Posting Komentar