Jumat, 22 Februari 2013

STUNTING


Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik  yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas.  Sebagai generasi penerus bangsa, anak diharapkan menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas. Untuk mewujudkannya, di samping dibutuhkan pendidikan yang baik, faktor gizi pun penting untuk diperhatikan. Masa balita merupakan salah satu masa penting untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Masa ini merupakan salah satu masa yang paling penting untuk meletakan dasar-dasar kesehatan dan intelektual anak untuk kehidupan yang akan datang. Menurut Syarief (1997), tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak, merupakan periode  yang sangat menentukan masa depannya. Kekurangan gizi pada periode ini dapat mengakibatkan terganggunya perkembangan mental dan kemampuan motorik anak. Gangguan tersebut sulit diperbaiki hingga periode berikutnya. Berdasarkan hal tersebut, masalah gizi anak perlu mendapatkan perhatian.  Namun pada kenyataannya, masih terdapat masalah yang berhubungan dengan keadaan gizi pada masa balita.  Menurut  Depkes (2008) yang diperoleh melalui penelitian Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007  di Indonesia terdapat 13%  anak balita dengan status gizi kurang bahkan terdapat 5,4 % anak balita berstatus gizi buruk dan  4,3 % anak mempunyai status gizi lebih. Sebesar 7,4% anak mempunyai status gizi kurus bahkan 6,2% anak sangat kurus dan 12,2% anak gemuk.  Keadaan gizi lain yang dapat ditemukan pada anak  adalah pendek (stunting).  Jumlah anak  stunting sebesar 36,8% atau berjumlah 9,3 juta anak. Jumlah ini jauh lebih besar daripada jumlah anak yang berstatus gizi kurang dan berstatus gizi kurus. Di Indonesia, seperti negara berkembang lainnya masalah gizi pada balita adalah wasting, anemia, berat badan lahir rendah dan stunting. Prevalensi stunting tertinggi terjadi pada anak saat anak berusia 24 – 59 bulan (Ramli et al. 2009). Stunting mengindikasikan masalah kesehatan masyarakat karena berhubungan dengan meningkatknya risiko morbiditas dan mortalitas, terhambatnya perkembangan dan fungsi motorik dan mental serta mengurangi kapasitas fisik.  Anak dengan keadaan stunting tidak mengalami potensi pertumbuhan secara maksimal dan dapat menjadi remaja dan dewasa yang stunting (Ricci & Becker 1996).  Dampaknya pada masa dewasa diantaranya adalah terbatasnya kapasitas kerja karena terjadi pengurangan aktivitas tubuh dan pada wanita dapat menyebabkan terjadinya risiko komplikasi kandungan karena memiliki ukuran panggul yang kecil serta berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (Shrimpton 2006). Sementara Nurmiati (2006) yang melakukan penelitian tentang pertumbuhan dan perkembangan pada anak balita yang mengalami stunting menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kelompok anak normal lebih baik daripada kelompok anak stunting  Pada keadaan stunting, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah balitapendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Karena masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang sifatnya kronis (Depkes 2009).Penilaian status gizi pada anak dapat dilakukan dengan metode antropometri. Dengan menggunakan indeks antropometri, di samping mudah penggunaannya biaya operasionalnya pun lebih murah dibandingkan dengan cara lengkap yang menggunakan pemeriksaan laboratorium dan klinis (Jahari1988).  Menurut Faber & Benade (1998) antropometri mudah diterima, tidak mahal, cepat dan merupakan  indikator kesehatan yang objektif.  Terdapat beberapa indeks antropometri yang umum dikenal yaitu berat badan menurut umur (BB/U), panjang badan atau tinggi badan menurut umur (PB/U atau TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).  Status gizi balita tidak hanya dipengaruhi oleh konsumsi pangan danpenyakit infeksi saja yang disebut dengan determinan langsung. Faktor lainnya adalah lingkungan rumah atau disebut dengan determinan tidak langsung terdiri dari ketahanan pangan, pola pengasuhan, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Keempat hal tersebut berkaitan dengan pendidikan, keterampilan, dan pengasuhan (UNICEF 1990).  Menurut Kilimbira et al. (2006), faktor yang menyebabkan terjadinya kekurangan gizi pada anak adalah kurangnya akses untuk mendapatkan pangan, pola asuh yang tidak tepat, sanitasi yang buruk dan kurangnya pelayanan kesehatan.  Banyak anak yang berasal dari keluarga miskin di negara berkembang yang mengalami stunting sejak bayi dikarenakan penyakit infeksi dan kurangnya asupan makanan yang bergizi (Faber & Benade  1998).  Penelitian di Sudan melaporkan melaporkan konsumsi zat gizi, jenis kelamin, status pemberian ASI dan status sosial ekonomi merupakan fakor yang berkorelasi positif dengan kejadian stunting pada anak usia 6-72 bulan (Sedgh et al. 2000). Menurut Ramli et al. (2009) yang melakukan penelitian tentang faktor risiko stunting di Maluku menyatakan bahwa faktor risiko  stunting pada anak  adalah usia anak, jenis kelamin dan rendahnya status sosial ekonomi. Sementara  menurut Schmidt et al(2002) berat badan dan tinggi badan bayi lahir adalah faktor yang paling mempengaruhi tinggi badan bayi hingga berusia 15 bulan. Anak adalah generasi penerus bangsa. Untuk mewujudkan bangsa besar, keadaan gizi anak perlu diperhatikan. Sejak lahir hingga berusia  lima tahun merupakan periode yang penting dalam pertumbuhan anak, karena masa tersebut adalah masa yang rentan dan akan menentukan masa depannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar