Keberhasilan
pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya manusia (SDM)
yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang
prima, serta cerdas. Sebagai generasi
penerus bangsa, anak diharapkan menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas.
Untuk mewujudkannya, di samping dibutuhkan pendidikan yang baik, faktor gizi
pun penting untuk diperhatikan. Masa balita merupakan salah satu masa penting
untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Masa ini merupakan salah satu
masa yang paling penting untuk meletakan dasar-dasar kesehatan dan intelektual
anak untuk kehidupan yang akan datang. Menurut Syarief (1997), tahun-tahun
pertama kehidupan seorang anak, merupakan periode yang sangat menentukan masa depannya.
Kekurangan gizi pada periode ini dapat mengakibatkan terganggunya perkembangan
mental dan kemampuan motorik anak. Gangguan tersebut sulit diperbaiki hingga
periode berikutnya. Berdasarkan hal tersebut, masalah gizi anak perlu
mendapatkan perhatian. Namun pada
kenyataannya, masih terdapat masalah yang berhubungan dengan keadaan gizi pada
masa balita. Menurut Depkes (2008) yang diperoleh melalui
penelitian Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 di Indonesia terdapat 13% anak balita dengan status gizi kurang bahkan
terdapat 5,4 % anak balita berstatus gizi buruk dan 4,3 % anak mempunyai status gizi lebih.
Sebesar 7,4% anak mempunyai status gizi kurus bahkan 6,2% anak sangat kurus dan
12,2% anak gemuk. Keadaan gizi lain yang
dapat ditemukan pada anak adalah pendek
(stunting). Jumlah anak stunting sebesar 36,8% atau berjumlah 9,3
juta anak. Jumlah ini jauh lebih besar daripada jumlah anak yang berstatus gizi
kurang dan berstatus gizi kurus. Di Indonesia, seperti negara berkembang
lainnya masalah gizi pada balita adalah wasting, anemia, berat badan lahir
rendah dan stunting. Prevalensi stunting tertinggi terjadi pada anak saat anak
berusia 24 – 59 bulan (Ramli et al. 2009). Stunting mengindikasikan masalah
kesehatan masyarakat karena berhubungan dengan meningkatknya risiko morbiditas
dan mortalitas, terhambatnya perkembangan dan fungsi motorik dan mental serta
mengurangi kapasitas fisik. Anak dengan
keadaan stunting tidak mengalami potensi pertumbuhan secara maksimal dan dapat
menjadi remaja dan dewasa yang stunting (Ricci & Becker 1996). Dampaknya pada masa dewasa diantaranya adalah
terbatasnya kapasitas kerja karena terjadi pengurangan aktivitas tubuh dan pada
wanita dapat menyebabkan terjadinya risiko komplikasi kandungan karena memiliki
ukuran panggul yang kecil serta berisiko melahirkan bayi dengan berat badan
lahir rendah (Shrimpton 2006). Sementara Nurmiati (2006) yang melakukan
penelitian tentang pertumbuhan dan perkembangan pada anak balita yang mengalami
stunting menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kelompok anak normal
lebih baik daripada kelompok anak stunting
Pada keadaan stunting, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal
menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi
dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang
kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan
rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah balitapendek merupakan
cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Karena masalah gizi pendek
diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri masalah gizi yang
ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang sifatnya kronis (Depkes
2009).Penilaian status gizi pada anak dapat dilakukan dengan metode antropometri.
Dengan menggunakan indeks antropometri, di samping mudah penggunaannya biaya
operasionalnya pun lebih murah dibandingkan dengan cara lengkap yang
menggunakan pemeriksaan laboratorium dan klinis (Jahari1988). Menurut Faber & Benade (1998)
antropometri mudah diterima, tidak mahal, cepat dan merupakan indikator kesehatan yang objektif. Terdapat beberapa indeks antropometri yang
umum dikenal yaitu berat badan menurut umur (BB/U), panjang badan atau tinggi
badan menurut umur (PB/U atau TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB). Status gizi balita tidak hanya
dipengaruhi oleh konsumsi pangan danpenyakit infeksi saja yang disebut dengan
determinan langsung. Faktor lainnya adalah lingkungan rumah atau disebut dengan
determinan tidak langsung terdiri dari ketahanan pangan, pola pengasuhan,
pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Keempat hal tersebut berkaitan
dengan pendidikan, keterampilan, dan pengasuhan (UNICEF 1990). Menurut Kilimbira et al. (2006), faktor yang menyebabkan
terjadinya kekurangan gizi pada anak adalah kurangnya akses untuk mendapatkan
pangan, pola asuh yang tidak tepat, sanitasi yang buruk dan kurangnya pelayanan
kesehatan. Banyak anak yang berasal dari
keluarga miskin di negara berkembang yang mengalami stunting sejak bayi
dikarenakan penyakit infeksi dan kurangnya asupan makanan yang bergizi (Faber
& Benade 1998). Penelitian di Sudan melaporkan melaporkan
konsumsi zat gizi, jenis kelamin, status pemberian ASI dan status sosial
ekonomi merupakan fakor yang berkorelasi positif dengan kejadian stunting pada
anak usia 6-72 bulan (Sedgh et al. 2000). Menurut Ramli et al. (2009) yang
melakukan penelitian tentang faktor risiko stunting di Maluku menyatakan bahwa
faktor risiko stunting pada anak adalah usia anak, jenis kelamin dan rendahnya
status sosial ekonomi. Sementara menurut
Schmidt et al(2002) berat badan dan tinggi badan bayi lahir adalah faktor yang
paling mempengaruhi tinggi badan bayi hingga berusia 15 bulan. Anak adalah
generasi penerus bangsa. Untuk mewujudkan bangsa besar, keadaan gizi anak perlu
diperhatikan. Sejak lahir hingga berusia
lima tahun merupakan periode yang penting dalam pertumbuhan anak, karena
masa tersebut adalah masa yang rentan dan akan menentukan masa depannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar